Bagian 1 : Generasi Z, Dari Televisi Ke Medsos, Perubahan Pola Sebar Informasi
Setiap
akhir pekan, saya biasanya pulang ke rumah di dusun. Jarak rumah ke lingkungan
kampus memang hanya sekitar 1 jam, namun untuk efisiensi waktu dan biaya saya
lebih memilih pulang sekali seminggu tiap akhir pekan dan menginap di
sekretariat BEM (sebelum demisioner, jangan tanya sekarang dimana :D). Selain
efisiensi, ketersediaan internet di dusun menjadi faktor lain. Sebagai bagian
dari generasi Z, saya tak bisa memungkiri bahwa koneksi internet menjadi
kebutuhan yang menunjang segala aktivitas keseharian.
Sepertinya
ini cukup relevan dengan apa yang ditulis seorang psikolog Elizabeth T. Santosa
dalam bukunya yang berjudul “Raising Children in Digital Era”. Dalam buku
tersebut, Elizabeth mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di rentang
tahun 1995 hingga 2014 dan biasa disebut dengan generasi Z atau dengan nama
lain generasi NET. Tujuh karakteristik itu antara lain :
- Memiliki ambisi besar untuk sukses
- Berprilaku instan
- Cinta kebebasan
- Percaya diri
- Menyukai hal yang detail
- Keinginan untuk mendapatkan pengakuan
- Digital dan teknologi informasi
Kembali
soal kebiasaan mudik akhir pekan yang saya bahas di awal, momen pulang ini
menjadi kesempatan saya untuk menonton televisi secara leluasa. Hal ini sebab
jarangnya saya menonton televis di hari-hari biasa karena kesibukan. Maka
perkembangan dunia pertelevisian yang saya ketahui akhir-akhir ini tidak jauh
dari acara-acara televisi yang biasa mengisi jam tayang di malam minggu dan
Minggu pagi.
Dari
sekian banyak acara yang tayang, satu yang menarik perhatian saya 2 minggu
terakhir adalah acara Bo bo ho di Trans TV. Acara yang mulai tayang sejak 20
Oktober 2018 dan tayang setiap hari Sabtu dan Minggu malam ini merupakan acara
komedi yang memarketisasi jokes yang telah viral sebelumnya di lini media sosial.
Para personil Bangijal TV yang terdiri dari Fiki, Bang Joker, dan Ijal yang
membuat konten video lucu dan mengunggahnya di akun instagram pun didapuk
sebagai para pemain di acara Bo bo ho.
Yang
menarik perhatian saya bukanlah soal humor receh yang ditampilkan acara
tersebut, namun acara tersebut seakan menambah rangkaian fakta bahwa hari ini
terjadi perubahan yang signifikan dalam pola penyebaran informasi. Jika sebelumnya
pola penyebaran informasi yang terjadi adalah televisi membuat konten lalu menyiarkannya,
masyarakat sebagai audience menonton, kemudian informasi yang diterima menjadi
bahan perbincangan baik dalam ruang tatap muka maupun di media sosial. Bisa kita
katakan bahwa sebelum 2010 relatif pengendalian informasi masih terpusat pada
industri pertelevisian.
Namun
hari ini terdapat perubahan pada pola itu. Perlahan namun pasti, polanya
berubah menjadi : viral di media sosial dan menarik banyak atensi, lalu televisi
mengangkatnya menjadi topik berita maupun konten acara dan disiarkan, dan
tersisalah masyarakat yang bukan pengguna media sosial menangkap informasi
tersebut sebagai konsumen televisi. Perubahannya hari ini adalah peran sebagai
sumber pertama informasi dan sumber rujukan yang mulai bergeser dari televisi
ke media sosial. Meski kemudian memang belum terlalu signifikan, namun tren ini
akan terus berkembang seiring bergesernya dominasi populasi Indonesia dari generasi
milenial ke generasi NET.
Sebagai
contoh lain, saya juga sempat menonton program berita di Metro TV dan salah
satu segmennya adalah mengulas apa yang tengah menjadi trending topik di media sosial.
Dari sana saya juga menyadari bahwa hampir semua program berita hari ini
menjadikan bahasan viral di media sosial sebagai bagian dari bahan
reportasenya. Entah ini pertanda baik atau justru menjadi indikator mulai tidak
efektifnya jurnalistik kita, yang jelas kini media sosial telah mempengaruhi
apa yang terjadi di meja redaksi.
Demikian
juga kalau yang kita tinjau adalah public figure yang menjadi sorotan
masyarakat. Faktanya dalam dua tahun terakhir jumlah personal yang mendapatkan
banyak atensi dari public lebih banyak diproduksi oleh media sosial ketimbang
yang diproduksi televisi. Entah itu selebritas, dai, politisi, hingga orang
biasa sekalipun. Saya ambil contoh lagi dari dunia selebritas, pernah dalam
satu kesempatan saya tak sengaja menonton acara Insert di Trans TV yang tengah
membahas kontroversi Young Lex. Di waktu yang lain pernah juga ada acara
sejenis di stasiun TV lain membahas kontroversi Awkarin. Pertanyaannya adalah, apakah
popularitas mereka diproduksi oleh televisi? Kenyataanya bahwa pintu masuk
mereka adalah Instagram dan Youtube. Yang lebih fenomaenal lagi adalah Ustadz Abdul
Somad, populer melalaui tausiyahnya yang “ear
catching” bagi telinga masyarakat Indonesia yang tersebar di Youtube, hari
ini faktanya tingkat keterkenalannya di mata masyarakat jauh melebihi para dai
yang lebih dahulu muncul melalui televisi.
Jika
kita mau lebih cermat lagi, sebenarnya para pelaku industri televisi pun juga
sudah menyadari realitas tentang berubahnya pola sebar informasi. Beberapa stasiun
televisi telah mencoba strategi baru. Ambil contoh Indonesian Idol 2018,
bagaimana mereka coba menarik atensi melalui postingan-postingan di Instagram
yang menampilkan video audisi peserta. Yang dimainkan bukan hanya sekedar
iklan, tapi juga gimmick di media sosial. Bagi yang pernah menonton Idol 2018,
pasti yang terlintas di ingatan kalian adalah Marion Jola, Brisia Jodie, atau
Ghea. Dan silakan flashback lagi ingatan kalian, pasti yang kalian ingat adalah
video audisi mereka bertiga yang sejatinya memang disetting untuk viral. Strategi
yang sama juga dilakukan oleh Idol Junior dengan Nashwa-nya, serta diadaptasi
juga oleh ajang pencarian bakat lain di televisi. Paradoks, karena acara televisi
justru mempromosikan diri melalui media sosial. Bukankah itu artinya stasiun televisi
tidak lagi optimal menjadi media promosi?
Mengapa bisa terjadi pergeseran pola sebar informasi ini?
Kemajuan
teknologi informasi yang makin pesat jelas menjadi faktor utama yang
mempengaruhi karakteristik dan cara kerja manusia terutama mereka yang termasuk
dalam generasi Z seperti yang saya cantumkan di awal. Berdasarkan data Badan
Perencanaan Pembagunan Nasional, proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2018
mencapai 265 juta jiwa. Jika kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok
umur maka generasi X dan generasi Y masih mendominasi jumlah penduduk Indonesia
dengan masing-masing di angka 63,869 juta dan 61,832 juta. Namun jumlah
generasi Z yang tekategori usia produktif berada di angka 44,065 juta dan
generasi Z yang masih anak-anak berada di angka 46,756 juta. Artinya, dalam
waktu yang tidak lama lagi dari sekarang penduduk Indonesia akan segera
didominasi oleh generasi Z dengan usia produktif.
Bila
kita asumsikan orang-orang yang bergantung pada televisi sebagai sumber
informasinya adalah para generasi X dan sebagian besar generasi Y, serta mereka
yang brgantung pada internet adalah generasi Z dan sebagian kecil generasi Y,
maka sekarang televisi memang tetap menjadi sarana utama masyarakat mencari informasi. Namun bisa dipastikan dalam waktu dekat juga televisi punya tugas yang makin
berat karena harus berhadapan dengan kompetitor yang sangat kompleks pemetaannya
yakni penontonnya sendiri.
Ditambah
dengan kondisi bahwa hari ini tren global tengah menerapkan revolusi industri 4.0
dimana salah satu konsepnya adalah Internet
of Things (IoT). Hal ini jelas akan semakin mengkatalisasi perubahan dalam
segala aspek termasuk perubahan sosial. Maka modernitas dalam hal teknologi
informasi yang akan segera menemukan momentumnya ini harus segera dibaca oleh
berbagai pihak yang hari ini tengah memperjuangkan nilai-nilai kebaikan agar
pengendalian informasi tak jatuh ke tangan yang salah (lagi).
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar