Sabtu, 17 November 2018

Menuju Dakwah 4.0


Bagian 1 : Generasi Z, Dari Televisi Ke Medsos, Perubahan Pola Sebar Informasi


Setiap akhir pekan, saya biasanya pulang ke rumah di dusun. Jarak rumah ke lingkungan kampus memang hanya sekitar 1 jam, namun untuk efisiensi waktu dan biaya saya lebih memilih pulang sekali seminggu tiap akhir pekan dan menginap di sekretariat BEM (sebelum demisioner, jangan tanya sekarang dimana :D). Selain efisiensi, ketersediaan internet di dusun menjadi faktor lain. Sebagai bagian dari generasi Z, saya tak bisa memungkiri bahwa koneksi internet menjadi kebutuhan yang menunjang segala aktivitas keseharian.

Sepertinya ini cukup relevan dengan apa yang ditulis seorang psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul “Raising Children in Digital Era”. Dalam buku tersebut, Elizabeth mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di rentang tahun 1995 hingga 2014 dan biasa disebut dengan generasi Z atau dengan nama lain generasi NET. Tujuh karakteristik itu antara lain :
  1. Memiliki ambisi besar untuk sukses
  2. Berprilaku instan
  3. Cinta kebebasan
  4. Percaya diri
  5. Menyukai hal yang detail
  6. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan
  7. Digital dan teknologi informasi

Kembali soal kebiasaan mudik akhir pekan yang saya bahas di awal, momen pulang ini menjadi kesempatan saya untuk menonton televisi secara leluasa. Hal ini sebab jarangnya saya menonton televis di hari-hari biasa karena kesibukan. Maka perkembangan dunia pertelevisian yang saya ketahui akhir-akhir ini tidak jauh dari acara-acara televisi yang biasa mengisi jam tayang di malam minggu dan Minggu pagi.

Dari sekian banyak acara yang tayang, satu yang menarik perhatian saya 2 minggu terakhir adalah acara Bo bo ho di Trans TV. Acara yang mulai tayang sejak 20 Oktober 2018 dan tayang setiap hari Sabtu dan Minggu malam ini merupakan acara komedi yang memarketisasi jokes yang telah viral sebelumnya di lini media sosial. Para personil Bangijal TV yang terdiri dari Fiki, Bang Joker, dan Ijal yang membuat konten video lucu dan mengunggahnya di akun instagram pun didapuk sebagai para pemain di acara Bo bo ho.

Yang menarik perhatian saya bukanlah soal humor receh yang ditampilkan acara tersebut, namun acara tersebut seakan menambah rangkaian fakta bahwa hari ini terjadi perubahan yang signifikan dalam pola penyebaran informasi. Jika sebelumnya pola penyebaran informasi yang terjadi adalah televisi membuat konten lalu menyiarkannya, masyarakat sebagai audience menonton, kemudian informasi yang diterima menjadi bahan perbincangan baik dalam ruang tatap muka maupun di media sosial. Bisa kita katakan bahwa sebelum 2010 relatif pengendalian informasi masih terpusat pada industri pertelevisian.

Namun hari ini terdapat perubahan pada pola itu. Perlahan namun pasti, polanya berubah menjadi : viral di media sosial dan menarik banyak atensi, lalu televisi mengangkatnya menjadi topik berita maupun konten acara dan disiarkan, dan tersisalah masyarakat yang bukan pengguna media sosial menangkap informasi tersebut sebagai konsumen televisi. Perubahannya hari ini adalah peran sebagai sumber pertama informasi dan sumber rujukan yang mulai bergeser dari televisi ke media sosial. Meski kemudian memang belum terlalu signifikan, namun tren ini akan terus berkembang seiring bergesernya dominasi populasi Indonesia dari generasi milenial ke generasi NET.


Sebagai contoh lain, saya juga sempat menonton program berita di Metro TV dan salah satu segmennya adalah mengulas apa yang tengah menjadi trending topik di media sosial. Dari sana saya juga menyadari bahwa hampir semua program berita hari ini menjadikan bahasan viral di media sosial sebagai bagian dari bahan reportasenya. Entah ini pertanda baik atau justru menjadi indikator mulai tidak efektifnya jurnalistik kita, yang jelas kini media sosial telah mempengaruhi apa yang terjadi di meja redaksi.

Demikian juga kalau yang kita tinjau adalah public figure yang menjadi sorotan masyarakat. Faktanya dalam dua tahun terakhir jumlah personal yang mendapatkan banyak atensi dari public lebih banyak diproduksi oleh media sosial ketimbang yang diproduksi televisi. Entah itu selebritas, dai, politisi, hingga orang biasa sekalipun. Saya ambil contoh lagi dari dunia selebritas, pernah dalam satu kesempatan saya tak sengaja menonton acara Insert di Trans TV yang tengah membahas kontroversi Young Lex. Di waktu yang lain pernah juga ada acara sejenis di stasiun TV lain membahas kontroversi Awkarin. Pertanyaannya adalah, apakah popularitas mereka diproduksi oleh televisi? Kenyataanya bahwa pintu masuk mereka adalah Instagram dan Youtube. Yang lebih fenomaenal lagi adalah Ustadz Abdul Somad, populer melalaui tausiyahnya yang “ear catching” bagi telinga masyarakat Indonesia yang tersebar di Youtube, hari ini faktanya tingkat keterkenalannya di mata masyarakat jauh melebihi para dai yang lebih dahulu muncul melalui televisi.


Jika kita mau lebih cermat lagi, sebenarnya para pelaku industri televisi pun juga sudah menyadari realitas tentang berubahnya pola sebar informasi. Beberapa stasiun televisi telah mencoba strategi baru. Ambil contoh Indonesian Idol 2018, bagaimana mereka coba menarik atensi melalui postingan-postingan di Instagram yang menampilkan video audisi peserta. Yang dimainkan bukan hanya sekedar iklan, tapi juga gimmick di media sosial. Bagi yang pernah menonton Idol 2018, pasti yang terlintas di ingatan kalian adalah Marion Jola, Brisia Jodie, atau Ghea. Dan silakan flashback lagi ingatan kalian, pasti yang kalian ingat adalah video audisi mereka bertiga yang sejatinya memang disetting untuk viral. Strategi yang sama juga dilakukan oleh Idol Junior dengan Nashwa-nya, serta diadaptasi juga oleh ajang pencarian bakat lain di televisi. Paradoks, karena acara televisi justru mempromosikan diri melalui media sosial. Bukankah itu artinya stasiun televisi tidak lagi optimal menjadi media promosi?

Mengapa bisa terjadi pergeseran pola sebar informasi ini?


Kemajuan teknologi informasi yang makin pesat jelas menjadi faktor utama yang mempengaruhi karakteristik dan cara kerja manusia terutama mereka yang termasuk dalam generasi Z seperti yang saya cantumkan di awal. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembagunan Nasional, proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. Jika kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur maka generasi X dan generasi Y masih mendominasi jumlah penduduk Indonesia dengan masing-masing di angka 63,869 juta dan 61,832 juta. Namun jumlah generasi Z yang tekategori usia produktif berada di angka 44,065 juta dan generasi Z yang masih anak-anak berada di angka 46,756 juta. Artinya, dalam waktu yang tidak lama lagi dari sekarang penduduk Indonesia akan segera didominasi oleh generasi Z dengan usia produktif.

Bila kita asumsikan orang-orang yang bergantung pada televisi sebagai sumber informasinya adalah para generasi X dan sebagian besar generasi Y, serta mereka yang brgantung pada internet adalah generasi Z dan sebagian kecil generasi Y, maka sekarang televisi memang tetap menjadi sarana utama masyarakat mencari informasi. Namun bisa dipastikan dalam waktu dekat juga televisi punya tugas yang makin berat karena harus berhadapan dengan kompetitor yang sangat kompleks pemetaannya yakni penontonnya sendiri.

Ditambah dengan kondisi bahwa hari ini tren global tengah menerapkan revolusi industri 4.0 dimana salah satu konsepnya adalah Internet of Things (IoT). Hal ini jelas akan semakin mengkatalisasi perubahan dalam segala aspek termasuk perubahan sosial. Maka modernitas dalam hal teknologi informasi yang akan segera menemukan momentumnya ini harus segera dibaca oleh berbagai pihak yang hari ini tengah memperjuangkan nilai-nilai kebaikan agar pengendalian informasi tak jatuh ke tangan yang salah (lagi).

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar