Bagian 2 : Tren Positif Islam dan 3H
Berbicara generasi Z, ada sebuah data menarik tentang generasi Z Indonesia. Berdarkan survey yang dilakukan oleh Varkey Foundation pada tahun 2017, generasi Z Indonesia menjadi yang paling tinggi dibanding negara-negara lain di dunia dalam hal menganggap komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagian generasi Z. Sebanyak 93 % generasi Z menganggap kebahagiaan mereka berasal dari komitmen mereka terhadap agama. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata persentase dunia sebesar 44%.
Hal
ini tentu akan menjadi sebuah diskursus yang menarik bagi berbagai kalangan
termasuk para penyedia layanan informasi. Sebab data di atas sejatinya
memberikan gambaran bagi mereka tentang kondisi pasar ke depan yang memiliki
interest sangat tinggi terhadap konten yang berhubungan dengan agama. Tentu sebagai
konsekuensi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, komposisi
generasi Z pun akan didominasi muslim dan tentu konten yang diproduksi untuk
memenui kebutuhan pasar pun akan didominasi oleh bahasan keislaman.
Data
survey Varkey Foundation ini juga seolah diamini oleh fakta bahwa Islam tengah
mengalami tren yang positif. Ada peningkatan yang signifikan terhadap isu
keislaman sebagai sebuah komoditas informasi baik Islam sebagai sebuah objek
yang dibahas, maupun subjek-subjek dalam hal ini public figure dan
keterkaitannya dengan Islam yang kemudian menarik atensi cukup banyak dari
masyarakat. Pembahasan ini yang menginspirasi saya untuk mengklasifikasikan
tren Islam ke dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H. Namun sebelum
membahas lebih lanjut terkait 3H, mari kita coba review lagi mengapa tren
keislaman mengalami penigkatan dan faktor apa saja yang bekerja sehingga opini public
menjadi aware dan interest terhadap Islam.
Faktor
Pembentuk Tren Islam di Generasi Z
Ada
beberapa faktor yang saya himpun dan menurut saya sedikit banyak mempengaruhi
positifnya tren Islam hari ini di Indonesia, diantaranya :
1. Isu Kemanusiaan Pasca Arab Spring
Saya tidak akan bahas soal Arab
Spring-nya karena selain akan menjadi sangat panjang dan bukan menjadi fokus
bahasan pada tulisan kali ini, juga karena saya mengakui belum terlalu memahami
secara rigid dan komperhensif tentang Arab Spring. Yang jelas, huru hara yang
terjadi di Jazirah Arab dan masih berlangsung hingga hari ini menghasilkan tragedi
kemanusiaan yang sangat buruk karena konflik kerap berujung peperangan dan
memakan banyak korban jiwa.
Nah, uniknya dari konflik
berkepanjangan yang terjadi di Jazirah Arab pasca Arab Spring justru
menghasilkan reaksi keprihatinan dan memperkuat isu kemanusiaan di mata
masyarakat Internasional. Hal ini cukup berbeda dari yang saya rasakan melalui
media massa sebelum 2010 yang relative mengarahkan isunya ke arah Islamopobia. Isu
kemanusiaan ini yang kemudian menghadirkan sudut pandang berbeda pada warga
dunia dalam memposisikan Islam.
Imbasnya, hal ini seperti menghidupkan
(lagi) semangat solidaritas yang dimana Islam sebagai identitasnya. Alhasil, tragedi
kemanusiaan dimanapun, tak hanya di jazirah Arab tapi juga di belahan dunia
lainnya, yang menjadikan muslim sebagai korbannya akan menghasilkan gelombang
reaksi yang nyaris sama. Sebagai contoh kasus Rohingya yang menyedot perhatian
publik Indonesia dan menghasilkan puluhan aksi turun ke jalan meski bukan
terjadi di tanah Arab.
Dengan kata lain Islam mulai kembali bisa dipahami bukan
sebagai agama Arab tapi sebagai identitas yang diterima secara global. Opini ini
tentu tak akan hadir secara maksimal melalui televisi, internet-lah yang menjadi
sarana publik mengakses info yang komperhensif tentang isu ini terlepas dari
dampak baik dan buruknya. Dan kalau kita hitung sejak
pecahnya Arab Spring di tahun 2010, saat itu usia tertua generasi Z
berusia 15 tahun. Artinya secara kondisi generasi Z didewasakan dalam suasana
empati terhadap isu kemanusiaan ini dibanding oleh isu Islamphobia seperti
generasi sebelumnya.
2. Imigran Muslim di Eropa Telah Memasuki Usia Produktif
Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa pasca berakhirnya perang dunia ke 2 terjadi gelombang imigrasi yang
tinggi ke Eropa dan salah satu negara asal yang cukup banyak menyumbang imigran
adalah negara-negara Afrika yang berpenduduk muslim. Akhir perang dunia ke 2
terjadi di dekade 90-an yang artinya sekarang para imigran muslim ini kini
telah memasuki usia produktif.
Para imigran yang telah dewasa
ini setidaknya memungkinkan terjadinya dua hal. Pertama, mereka bisa
menghadirkan perubahan sosial yang mampu menciptakan lingkungan yang lebih
positif bagi Islam. Tentu kita tak asing dengan beberapa pemberitaan dimana
para warga imigran ini telah menjadi anggota parlemen di negaranya, dan yang
jelas ini dikemas dengan tajuk semisal “muslim pertama yang menjadi anggota
parlemen”, “wanita berjilbab pertama yang menduduki kursi jabatan”, “pesepak
bola muslim pertama di klub”, dan sebagainya.
Kedua, mereka berpotensi
menjadi mayoritas karena yang jelas usia dewasa mereka akan menghantarkannya ke
pernikahan. Dan berdasarkan berdasarkan penelitian Pew Research Center bahwa
Muslim Eropa akan mengalami peningkatan jumlah dimana salah satu variabel
penyebabnya adalah angka fertilitas Muslim yang lebih tinggi. Pola hidup Muslim
yang jauh lebih sehat bisa jadi yang menyebabkan angka kelahiran Muslim jauh
lebih tinggi dibanding non Muslim.
Apapun, yang jelas faktor kedua
ini menghasilkan sejenis euforia bagi muslim di belahan dunia lain. Memang orang-orang
tidak akan terlalu memperhatikan jumlah imigran muslim ataupun angka fertilitas
muslim, namun melalui tajuk-tajuk berita seperti yang saya sampaikan sebelumnya,
lahir interpretasi semacam kisah inspirasi bagi pemuda muslim untuk bangga akan
identitas keislamannya termasuk di Indonesia.
3. Ketidakpuasan Atas Gaya Hidup yang Bebas
Gaya hidup bebas layaknya negara liberal
yang masih diganderungi oleh kebanyakan anak muda nyatanya melahirkan banyak
permasalahan. Hal ini yang membuat sebagian besar generasi muda cenderung
frustasi dan mencari jalan keluar dengan gaya hidup yang berbeda. Di luar
dugaan, justru gaya hidup Islam yang justru menjadi rujukan dan hasilnya cukup
memuaskan. Ini yang kemudian membuat gelombang hijrah di berbagai kalangan dan
akhirnya menjadi tren.
Faktor ini menjadi masif karena
banyak juga yang terdampak efek buruk gaya hidup bebas ini dari kalangan public
figure. Ketika public figure ini memutuskan hijrah, otomatis para penggemar
mereka sebagiannya akan mencontoh. Tentu mayoritas penggemar mereka adalah juga
dari kalangan muda mudi. Kemudian ini menjalar dari satu public figure ke public
figure lain hingga jadilah sebua tren “Islamic lifestyle”. Yang terbaru,
agenda Hijrah Fest yang diinisiasi oleh artis-artis yang tergabung dalam kajian
Musawarah.
4. Politik Identitas Pilkada Jakarta
Suka tidak suka, harus kita akui
pilkada Jakarta benar-benar menjadi momentum bukan hanya untuk Jakarta namun
juga Indonesia karena besarnya atensi media massa pada pilkada Jakarta,
menghidupkan kembali Islam sebagai pandangan hidup termasuk dalam berpolitik. Dan
jika membicarakan faktor ini, maka aksi besar 212 adalah penanda momentumnya.
Sejak saat itu hingga kini di 2018,
semangat keislaman dibangkitkan melalui berbagai sarana terutama media sosial. Dan
yang terdampak sangat jelas dalam proses pencerdasan ini adalah 44,065 juta
orang generasi Z yang terkategori usia produktif sebagaimana yang saya
sampaikan pada bagian 1. Karena hampir setiap hari mereka menemukan konten di
medsos baik dalam bentuk gambar, video, maupun berita dan mereka mendewasa
bersama kondisi ini.
Klasifikasi Tren Islam Menurut Kacamat-aku
Seperti
yang saya singgung di awal, tren postif Islam ini dapat diklasifikasikan ke
dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H, yaitu Hijab, Hijrah, dan
Harakah. Tentu 3H ini tidak diartikan secara harfiah namun hanya sebagai ikon
yang mewakili pembagian masing-masing segmentasi pasarnya.
1. Tren Hijab (Gaya Hidup)
Hijab saya ambil sebagai
representasi dari perubahan gaya hidup. Di bagian ini adalah tren mereka yang
terbuka dan menerima Islam walau hanya sebatas lifestyle. Misalnya tren
mengubah penampilan atau busana menjadi lebih Islami, menigkatnya tren musik yang
membawakan pesan Islam, atau meningkatnya minat wisata halal. Pada tahun 2018
tren ini cukup meningkat pesat, misalkan hadirnya grup musik Sabyan di
belantika musik nasional yang berhasil mengembalikan shalawat dan gambus ke
playlist musik anak-anak muda, atau tren berhijab di kalangan artis yang memang
sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya.
Di bagian ini adalah tren yang bukan
hanya sebatas mengubah gaya hidup, namun sudah ke tahapan mengubah cara hidup. Misalnya
tren mengubah pergaulan menjadi bersama orang-orang shalih, tren membentuk
komunitas belajar Islam, atau tren meramaikan kajian Islam. Termasuk dalam bagian
ini adalah tren para Ustadz menjadi idola kaum muda seperti Ustadz Abdul Somad,
Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, dan lain-lain.
3. Tren
Harakah (Pandangan Hidup)
Kalau membaca bagian ini,
beberapa teman-teman yang aktivis dakwah pasti senyum-senyum kecil. Udah,
dilepas aja ketawanya :D
Yang menjadi begitu jelas di 2018
adalah tren menjadikan Islam sebagai padangan hidup yang kemudian mengubah cara
berfikirnya. Hal ini berbuah Islam sebagai dasar gerakan di berbagai sektor seperti
ekonomi, politik, atau sosial. Sejatinya ikhtiar melalui gerakan ini sudah lama
ada, namun kesadaran publik yang terbentuk secara masif benar-benar terasa relatif
di dua tahun terakhir. Hal ini juga tak lepas dari faktor ke-4 yang saya paparkan
sebelumnya.
Pembagian
tren Islam ke dalam 3H ini sangat ingin saya share kepada teman-teman agar
kemudian komunitas ataupun lembaga dakwah yang hari ini ada dan tengah berkarya
dapat membagi ranah kerja dan selalu berinovasi guna memproduksi tren-tren yang
dibutuhkan masing-masing bagiannya. Sehingga gelombang perubahan yang ada terus meluas guna kehidupan yang
makin Islami. Sudah saatnya dakwah menjadi trendsetter Indonesia, bahkan dunia
***
Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
(QS. Al-Ma'idah : 54)
***
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ ۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَآ ئِمٍ ۗ ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
(QS. Al-Ma'idah : 54)
Bersambung…