Rabu, 28 November 2018

Menuju Dakwah 4.0

Bagian 2 : Tren Positif Islam dan 3H




Berbicara generasi Z, ada sebuah data menarik tentang generasi Z Indonesia. Berdarkan survey yang dilakukan oleh Varkey Foundation pada tahun 2017, generasi Z Indonesia menjadi yang paling tinggi dibanding negara-negara lain di dunia dalam hal menganggap komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagian generasi Z. Sebanyak 93 % generasi Z menganggap kebahagiaan mereka berasal dari komitmen mereka terhadap agama. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata persentase dunia sebesar 44%.

Hal ini tentu akan menjadi sebuah diskursus yang menarik bagi berbagai kalangan termasuk para penyedia layanan informasi. Sebab data di atas sejatinya memberikan gambaran bagi mereka tentang kondisi pasar ke depan yang memiliki interest sangat tinggi terhadap konten yang berhubungan dengan agama. Tentu sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, komposisi generasi Z pun akan didominasi muslim dan tentu konten yang diproduksi untuk memenui kebutuhan pasar pun akan didominasi oleh bahasan keislaman.

Data survey Varkey Foundation ini juga seolah diamini oleh fakta bahwa Islam tengah mengalami tren yang positif. Ada peningkatan yang signifikan terhadap isu keislaman sebagai sebuah komoditas informasi baik Islam sebagai sebuah objek yang dibahas, maupun subjek-subjek dalam hal ini public figure dan keterkaitannya dengan Islam yang kemudian menarik atensi cukup banyak dari masyarakat. Pembahasan ini yang menginspirasi saya untuk mengklasifikasikan tren Islam ke dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H. Namun sebelum membahas lebih lanjut terkait 3H, mari kita coba review lagi mengapa tren keislaman mengalami penigkatan dan faktor apa saja yang bekerja sehingga opini public menjadi aware dan interest terhadap Islam.

Faktor Pembentuk Tren Islam di Generasi Z

Ada beberapa faktor yang saya himpun dan menurut saya sedikit banyak mempengaruhi positifnya tren Islam hari ini di Indonesia, diantaranya :

1. Isu Kemanusiaan Pasca Arab Spring


Saya tidak akan bahas soal Arab Spring-nya karena selain akan menjadi sangat panjang dan bukan menjadi fokus bahasan pada tulisan kali ini, juga karena saya mengakui belum terlalu memahami secara rigid dan komperhensif tentang Arab Spring. Yang jelas, huru hara yang terjadi di Jazirah Arab dan masih berlangsung hingga hari ini menghasilkan tragedi kemanusiaan yang sangat buruk karena konflik kerap berujung peperangan dan memakan banyak korban jiwa.

Nah, uniknya dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Jazirah Arab pasca Arab Spring justru menghasilkan reaksi keprihatinan dan memperkuat isu kemanusiaan di mata masyarakat Internasional. Hal ini cukup berbeda dari yang saya rasakan melalui media massa sebelum 2010 yang relative mengarahkan isunya ke arah Islamopobia. Isu kemanusiaan ini yang kemudian menghadirkan sudut pandang berbeda pada warga dunia dalam memposisikan Islam.

Imbasnya, hal ini seperti menghidupkan (lagi) semangat solidaritas yang dimana Islam sebagai identitasnya. Alhasil, tragedi kemanusiaan dimanapun, tak hanya di jazirah Arab tapi juga di belahan dunia lainnya, yang menjadikan muslim sebagai korbannya akan menghasilkan gelombang reaksi yang nyaris sama. Sebagai contoh kasus Rohingya yang menyedot perhatian publik Indonesia dan menghasilkan puluhan aksi turun ke jalan meski bukan terjadi di tanah Arab. 

Dengan kata lain Islam mulai kembali bisa dipahami bukan sebagai agama Arab tapi sebagai identitas yang diterima secara global. Opini ini tentu tak akan hadir secara maksimal melalui televisi, internet-lah yang menjadi sarana publik mengakses info yang komperhensif tentang isu ini terlepas dari dampak baik dan buruknya. Dan kalau kita hitung sejak pecahnya Arab Spring di tahun 2010, saat itu usia tertua generasi Z berusia 15 tahun. Artinya secara kondisi generasi Z didewasakan dalam suasana empati terhadap isu kemanusiaan ini dibanding oleh isu Islamphobia seperti generasi sebelumnya.

2. Imigran Muslim di Eropa Telah Memasuki Usia Produktif

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pasca berakhirnya perang dunia ke 2 terjadi gelombang imigrasi yang tinggi ke Eropa dan salah satu negara asal yang cukup banyak menyumbang imigran adalah negara-negara Afrika yang berpenduduk muslim. Akhir perang dunia ke 2 terjadi di dekade 90-an yang artinya sekarang para imigran muslim ini kini telah memasuki usia produktif.

Para imigran yang telah dewasa ini setidaknya memungkinkan terjadinya dua hal. Pertama, mereka bisa menghadirkan perubahan sosial yang mampu menciptakan lingkungan yang lebih positif bagi Islam. Tentu kita tak asing dengan beberapa pemberitaan dimana para warga imigran ini telah menjadi anggota parlemen di negaranya, dan yang jelas ini dikemas dengan tajuk semisal “muslim pertama yang menjadi anggota parlemen”, “wanita berjilbab pertama yang menduduki kursi jabatan”, “pesepak bola muslim pertama di klub”, dan sebagainya.

Kedua, mereka berpotensi menjadi mayoritas karena yang jelas usia dewasa mereka akan menghantarkannya ke pernikahan. Dan berdasarkan berdasarkan penelitian Pew Research Center bahwa Muslim Eropa akan mengalami peningkatan jumlah dimana salah satu variabel penyebabnya adalah angka fertilitas Muslim yang lebih tinggi. Pola hidup Muslim yang jauh lebih sehat bisa jadi yang menyebabkan angka kelahiran Muslim jauh lebih tinggi dibanding non Muslim.

Apapun, yang jelas faktor kedua ini menghasilkan sejenis euforia bagi muslim di belahan dunia lain. Memang orang-orang tidak akan terlalu memperhatikan jumlah imigran muslim ataupun angka fertilitas muslim, namun melalui tajuk-tajuk berita seperti yang saya sampaikan sebelumnya, lahir interpretasi semacam kisah inspirasi bagi pemuda muslim untuk bangga akan identitas keislamannya termasuk di Indonesia.

3.  Ketidakpuasan Atas Gaya Hidup yang Bebas

Gaya hidup bebas layaknya negara liberal yang masih diganderungi oleh kebanyakan anak muda nyatanya melahirkan banyak permasalahan. Hal ini yang membuat sebagian besar generasi muda cenderung frustasi dan mencari jalan keluar dengan gaya hidup yang berbeda. Di luar dugaan, justru gaya hidup Islam yang justru menjadi rujukan dan hasilnya cukup memuaskan. Ini yang kemudian membuat gelombang hijrah di berbagai kalangan dan akhirnya menjadi tren.

Faktor ini menjadi masif karena banyak juga yang terdampak efek buruk gaya hidup bebas ini dari kalangan public figure. Ketika public figure ini memutuskan hijrah, otomatis para penggemar mereka sebagiannya akan mencontoh. Tentu mayoritas penggemar mereka adalah juga dari kalangan muda mudi. Kemudian ini menjalar dari satu public figure ke public figure lain hingga jadilah sebua tren “Islamic lifestyle”. Yang terbaru, agenda Hijrah Fest yang diinisiasi oleh artis-artis yang tergabung dalam kajian Musawarah.

4. Politik Identitas Pilkada Jakarta



Suka tidak suka, harus kita akui pilkada Jakarta benar-benar menjadi momentum bukan hanya untuk Jakarta namun juga Indonesia karena besarnya atensi media massa pada pilkada Jakarta, menghidupkan kembali Islam sebagai pandangan hidup termasuk dalam berpolitik. Dan jika membicarakan faktor ini, maka aksi besar 212 adalah penanda momentumnya.

Sejak saat itu hingga kini di 2018, semangat keislaman dibangkitkan melalui berbagai sarana terutama media sosial. Dan yang terdampak sangat jelas dalam proses pencerdasan ini adalah 44,065 juta orang generasi Z yang terkategori usia produktif sebagaimana yang saya sampaikan pada bagian 1. Karena hampir setiap hari mereka menemukan konten di medsos baik dalam bentuk gambar, video, maupun berita dan mereka mendewasa bersama kondisi ini.

Klasifikasi Tren Islam Menurut Kacamat-aku

Seperti yang saya singgung di awal, tren postif Islam ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H, yaitu Hijab, Hijrah, dan Harakah. Tentu 3H ini tidak diartikan secara harfiah namun hanya sebagai ikon yang mewakili pembagian masing-masing segmentasi pasarnya.

1. Tren Hijab (Gaya Hidup)
Hijab saya ambil sebagai representasi dari perubahan gaya hidup. Di bagian ini adalah tren mereka yang terbuka dan menerima Islam walau hanya sebatas lifestyle. Misalnya tren mengubah penampilan atau busana menjadi lebih Islami, menigkatnya tren musik yang membawakan pesan Islam, atau meningkatnya minat wisata halal. Pada tahun 2018 tren ini cukup meningkat pesat, misalkan hadirnya grup musik Sabyan di belantika musik nasional yang berhasil mengembalikan shalawat dan gambus ke playlist musik anak-anak muda, atau tren berhijab di kalangan artis yang memang sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya.

2. Tren Hijrah (Cara Hidup)

Di bagian ini adalah tren yang bukan hanya sebatas mengubah gaya hidup, namun sudah ke tahapan mengubah cara hidup. Misalnya tren mengubah pergaulan menjadi bersama orang-orang shalih, tren membentuk komunitas belajar Islam, atau tren meramaikan kajian Islam. Termasuk dalam bagian ini adalah tren para Ustadz menjadi idola kaum muda seperti Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, dan lain-lain.

3. Tren Harakah (Pandangan Hidup)
Kalau membaca bagian ini, beberapa teman-teman yang aktivis dakwah pasti senyum-senyum kecil. Udah, dilepas aja ketawanya :D
Yang menjadi begitu jelas di 2018 adalah tren menjadikan Islam sebagai padangan hidup yang kemudian mengubah cara berfikirnya. Hal ini berbuah Islam sebagai dasar gerakan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, atau sosial. Sejatinya ikhtiar melalui gerakan ini sudah lama ada, namun kesadaran publik yang terbentuk secara masif benar-benar terasa relatif di dua tahun terakhir. Hal ini juga tak lepas dari faktor ke-4 yang saya paparkan sebelumnya.

Pembagian tren Islam ke dalam 3H ini sangat ingin saya share kepada teman-teman agar kemudian komunitas ataupun lembaga dakwah yang hari ini ada dan tengah berkarya dapat membagi ranah kerja dan selalu berinovasi guna memproduksi tren-tren yang dibutuhkan masing-masing bagiannya. Sehingga gelombang perubahan  yang ada terus meluas guna kehidupan yang makin Islami. Sudah saatnya dakwah menjadi trendsetter Indonesia, bahkan dunia

***

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗۤ  ۙ  اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ  ۖ  يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَآ ئِمٍ  ۗ  ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُ   ۗ  وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
(QS. Al-Ma'idah : 54)



Bersambung…

Sabtu, 17 November 2018

Menuju Dakwah 4.0


Bagian 1 : Generasi Z, Dari Televisi Ke Medsos, Perubahan Pola Sebar Informasi


Setiap akhir pekan, saya biasanya pulang ke rumah di dusun. Jarak rumah ke lingkungan kampus memang hanya sekitar 1 jam, namun untuk efisiensi waktu dan biaya saya lebih memilih pulang sekali seminggu tiap akhir pekan dan menginap di sekretariat BEM (sebelum demisioner, jangan tanya sekarang dimana :D). Selain efisiensi, ketersediaan internet di dusun menjadi faktor lain. Sebagai bagian dari generasi Z, saya tak bisa memungkiri bahwa koneksi internet menjadi kebutuhan yang menunjang segala aktivitas keseharian.

Sepertinya ini cukup relevan dengan apa yang ditulis seorang psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul “Raising Children in Digital Era”. Dalam buku tersebut, Elizabeth mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di rentang tahun 1995 hingga 2014 dan biasa disebut dengan generasi Z atau dengan nama lain generasi NET. Tujuh karakteristik itu antara lain :
  1. Memiliki ambisi besar untuk sukses
  2. Berprilaku instan
  3. Cinta kebebasan
  4. Percaya diri
  5. Menyukai hal yang detail
  6. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan
  7. Digital dan teknologi informasi

Kembali soal kebiasaan mudik akhir pekan yang saya bahas di awal, momen pulang ini menjadi kesempatan saya untuk menonton televisi secara leluasa. Hal ini sebab jarangnya saya menonton televis di hari-hari biasa karena kesibukan. Maka perkembangan dunia pertelevisian yang saya ketahui akhir-akhir ini tidak jauh dari acara-acara televisi yang biasa mengisi jam tayang di malam minggu dan Minggu pagi.

Dari sekian banyak acara yang tayang, satu yang menarik perhatian saya 2 minggu terakhir adalah acara Bo bo ho di Trans TV. Acara yang mulai tayang sejak 20 Oktober 2018 dan tayang setiap hari Sabtu dan Minggu malam ini merupakan acara komedi yang memarketisasi jokes yang telah viral sebelumnya di lini media sosial. Para personil Bangijal TV yang terdiri dari Fiki, Bang Joker, dan Ijal yang membuat konten video lucu dan mengunggahnya di akun instagram pun didapuk sebagai para pemain di acara Bo bo ho.

Yang menarik perhatian saya bukanlah soal humor receh yang ditampilkan acara tersebut, namun acara tersebut seakan menambah rangkaian fakta bahwa hari ini terjadi perubahan yang signifikan dalam pola penyebaran informasi. Jika sebelumnya pola penyebaran informasi yang terjadi adalah televisi membuat konten lalu menyiarkannya, masyarakat sebagai audience menonton, kemudian informasi yang diterima menjadi bahan perbincangan baik dalam ruang tatap muka maupun di media sosial. Bisa kita katakan bahwa sebelum 2010 relatif pengendalian informasi masih terpusat pada industri pertelevisian.

Namun hari ini terdapat perubahan pada pola itu. Perlahan namun pasti, polanya berubah menjadi : viral di media sosial dan menarik banyak atensi, lalu televisi mengangkatnya menjadi topik berita maupun konten acara dan disiarkan, dan tersisalah masyarakat yang bukan pengguna media sosial menangkap informasi tersebut sebagai konsumen televisi. Perubahannya hari ini adalah peran sebagai sumber pertama informasi dan sumber rujukan yang mulai bergeser dari televisi ke media sosial. Meski kemudian memang belum terlalu signifikan, namun tren ini akan terus berkembang seiring bergesernya dominasi populasi Indonesia dari generasi milenial ke generasi NET.


Sebagai contoh lain, saya juga sempat menonton program berita di Metro TV dan salah satu segmennya adalah mengulas apa yang tengah menjadi trending topik di media sosial. Dari sana saya juga menyadari bahwa hampir semua program berita hari ini menjadikan bahasan viral di media sosial sebagai bagian dari bahan reportasenya. Entah ini pertanda baik atau justru menjadi indikator mulai tidak efektifnya jurnalistik kita, yang jelas kini media sosial telah mempengaruhi apa yang terjadi di meja redaksi.

Demikian juga kalau yang kita tinjau adalah public figure yang menjadi sorotan masyarakat. Faktanya dalam dua tahun terakhir jumlah personal yang mendapatkan banyak atensi dari public lebih banyak diproduksi oleh media sosial ketimbang yang diproduksi televisi. Entah itu selebritas, dai, politisi, hingga orang biasa sekalipun. Saya ambil contoh lagi dari dunia selebritas, pernah dalam satu kesempatan saya tak sengaja menonton acara Insert di Trans TV yang tengah membahas kontroversi Young Lex. Di waktu yang lain pernah juga ada acara sejenis di stasiun TV lain membahas kontroversi Awkarin. Pertanyaannya adalah, apakah popularitas mereka diproduksi oleh televisi? Kenyataanya bahwa pintu masuk mereka adalah Instagram dan Youtube. Yang lebih fenomaenal lagi adalah Ustadz Abdul Somad, populer melalaui tausiyahnya yang “ear catching” bagi telinga masyarakat Indonesia yang tersebar di Youtube, hari ini faktanya tingkat keterkenalannya di mata masyarakat jauh melebihi para dai yang lebih dahulu muncul melalui televisi.


Jika kita mau lebih cermat lagi, sebenarnya para pelaku industri televisi pun juga sudah menyadari realitas tentang berubahnya pola sebar informasi. Beberapa stasiun televisi telah mencoba strategi baru. Ambil contoh Indonesian Idol 2018, bagaimana mereka coba menarik atensi melalui postingan-postingan di Instagram yang menampilkan video audisi peserta. Yang dimainkan bukan hanya sekedar iklan, tapi juga gimmick di media sosial. Bagi yang pernah menonton Idol 2018, pasti yang terlintas di ingatan kalian adalah Marion Jola, Brisia Jodie, atau Ghea. Dan silakan flashback lagi ingatan kalian, pasti yang kalian ingat adalah video audisi mereka bertiga yang sejatinya memang disetting untuk viral. Strategi yang sama juga dilakukan oleh Idol Junior dengan Nashwa-nya, serta diadaptasi juga oleh ajang pencarian bakat lain di televisi. Paradoks, karena acara televisi justru mempromosikan diri melalui media sosial. Bukankah itu artinya stasiun televisi tidak lagi optimal menjadi media promosi?

Mengapa bisa terjadi pergeseran pola sebar informasi ini?


Kemajuan teknologi informasi yang makin pesat jelas menjadi faktor utama yang mempengaruhi karakteristik dan cara kerja manusia terutama mereka yang termasuk dalam generasi Z seperti yang saya cantumkan di awal. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembagunan Nasional, proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. Jika kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur maka generasi X dan generasi Y masih mendominasi jumlah penduduk Indonesia dengan masing-masing di angka 63,869 juta dan 61,832 juta. Namun jumlah generasi Z yang tekategori usia produktif berada di angka 44,065 juta dan generasi Z yang masih anak-anak berada di angka 46,756 juta. Artinya, dalam waktu yang tidak lama lagi dari sekarang penduduk Indonesia akan segera didominasi oleh generasi Z dengan usia produktif.

Bila kita asumsikan orang-orang yang bergantung pada televisi sebagai sumber informasinya adalah para generasi X dan sebagian besar generasi Y, serta mereka yang brgantung pada internet adalah generasi Z dan sebagian kecil generasi Y, maka sekarang televisi memang tetap menjadi sarana utama masyarakat mencari informasi. Namun bisa dipastikan dalam waktu dekat juga televisi punya tugas yang makin berat karena harus berhadapan dengan kompetitor yang sangat kompleks pemetaannya yakni penontonnya sendiri.

Ditambah dengan kondisi bahwa hari ini tren global tengah menerapkan revolusi industri 4.0 dimana salah satu konsepnya adalah Internet of Things (IoT). Hal ini jelas akan semakin mengkatalisasi perubahan dalam segala aspek termasuk perubahan sosial. Maka modernitas dalam hal teknologi informasi yang akan segera menemukan momentumnya ini harus segera dibaca oleh berbagai pihak yang hari ini tengah memperjuangkan nilai-nilai kebaikan agar pengendalian informasi tak jatuh ke tangan yang salah (lagi).

Bersambung…