Rabu, 28 November 2018

Menuju Dakwah 4.0

Bagian 2 : Tren Positif Islam dan 3H




Berbicara generasi Z, ada sebuah data menarik tentang generasi Z Indonesia. Berdarkan survey yang dilakukan oleh Varkey Foundation pada tahun 2017, generasi Z Indonesia menjadi yang paling tinggi dibanding negara-negara lain di dunia dalam hal menganggap komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagian generasi Z. Sebanyak 93 % generasi Z menganggap kebahagiaan mereka berasal dari komitmen mereka terhadap agama. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata persentase dunia sebesar 44%.

Hal ini tentu akan menjadi sebuah diskursus yang menarik bagi berbagai kalangan termasuk para penyedia layanan informasi. Sebab data di atas sejatinya memberikan gambaran bagi mereka tentang kondisi pasar ke depan yang memiliki interest sangat tinggi terhadap konten yang berhubungan dengan agama. Tentu sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, komposisi generasi Z pun akan didominasi muslim dan tentu konten yang diproduksi untuk memenui kebutuhan pasar pun akan didominasi oleh bahasan keislaman.

Data survey Varkey Foundation ini juga seolah diamini oleh fakta bahwa Islam tengah mengalami tren yang positif. Ada peningkatan yang signifikan terhadap isu keislaman sebagai sebuah komoditas informasi baik Islam sebagai sebuah objek yang dibahas, maupun subjek-subjek dalam hal ini public figure dan keterkaitannya dengan Islam yang kemudian menarik atensi cukup banyak dari masyarakat. Pembahasan ini yang menginspirasi saya untuk mengklasifikasikan tren Islam ke dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H. Namun sebelum membahas lebih lanjut terkait 3H, mari kita coba review lagi mengapa tren keislaman mengalami penigkatan dan faktor apa saja yang bekerja sehingga opini public menjadi aware dan interest terhadap Islam.

Faktor Pembentuk Tren Islam di Generasi Z

Ada beberapa faktor yang saya himpun dan menurut saya sedikit banyak mempengaruhi positifnya tren Islam hari ini di Indonesia, diantaranya :

1. Isu Kemanusiaan Pasca Arab Spring


Saya tidak akan bahas soal Arab Spring-nya karena selain akan menjadi sangat panjang dan bukan menjadi fokus bahasan pada tulisan kali ini, juga karena saya mengakui belum terlalu memahami secara rigid dan komperhensif tentang Arab Spring. Yang jelas, huru hara yang terjadi di Jazirah Arab dan masih berlangsung hingga hari ini menghasilkan tragedi kemanusiaan yang sangat buruk karena konflik kerap berujung peperangan dan memakan banyak korban jiwa.

Nah, uniknya dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Jazirah Arab pasca Arab Spring justru menghasilkan reaksi keprihatinan dan memperkuat isu kemanusiaan di mata masyarakat Internasional. Hal ini cukup berbeda dari yang saya rasakan melalui media massa sebelum 2010 yang relative mengarahkan isunya ke arah Islamopobia. Isu kemanusiaan ini yang kemudian menghadirkan sudut pandang berbeda pada warga dunia dalam memposisikan Islam.

Imbasnya, hal ini seperti menghidupkan (lagi) semangat solidaritas yang dimana Islam sebagai identitasnya. Alhasil, tragedi kemanusiaan dimanapun, tak hanya di jazirah Arab tapi juga di belahan dunia lainnya, yang menjadikan muslim sebagai korbannya akan menghasilkan gelombang reaksi yang nyaris sama. Sebagai contoh kasus Rohingya yang menyedot perhatian publik Indonesia dan menghasilkan puluhan aksi turun ke jalan meski bukan terjadi di tanah Arab. 

Dengan kata lain Islam mulai kembali bisa dipahami bukan sebagai agama Arab tapi sebagai identitas yang diterima secara global. Opini ini tentu tak akan hadir secara maksimal melalui televisi, internet-lah yang menjadi sarana publik mengakses info yang komperhensif tentang isu ini terlepas dari dampak baik dan buruknya. Dan kalau kita hitung sejak pecahnya Arab Spring di tahun 2010, saat itu usia tertua generasi Z berusia 15 tahun. Artinya secara kondisi generasi Z didewasakan dalam suasana empati terhadap isu kemanusiaan ini dibanding oleh isu Islamphobia seperti generasi sebelumnya.

2. Imigran Muslim di Eropa Telah Memasuki Usia Produktif

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pasca berakhirnya perang dunia ke 2 terjadi gelombang imigrasi yang tinggi ke Eropa dan salah satu negara asal yang cukup banyak menyumbang imigran adalah negara-negara Afrika yang berpenduduk muslim. Akhir perang dunia ke 2 terjadi di dekade 90-an yang artinya sekarang para imigran muslim ini kini telah memasuki usia produktif.

Para imigran yang telah dewasa ini setidaknya memungkinkan terjadinya dua hal. Pertama, mereka bisa menghadirkan perubahan sosial yang mampu menciptakan lingkungan yang lebih positif bagi Islam. Tentu kita tak asing dengan beberapa pemberitaan dimana para warga imigran ini telah menjadi anggota parlemen di negaranya, dan yang jelas ini dikemas dengan tajuk semisal “muslim pertama yang menjadi anggota parlemen”, “wanita berjilbab pertama yang menduduki kursi jabatan”, “pesepak bola muslim pertama di klub”, dan sebagainya.

Kedua, mereka berpotensi menjadi mayoritas karena yang jelas usia dewasa mereka akan menghantarkannya ke pernikahan. Dan berdasarkan berdasarkan penelitian Pew Research Center bahwa Muslim Eropa akan mengalami peningkatan jumlah dimana salah satu variabel penyebabnya adalah angka fertilitas Muslim yang lebih tinggi. Pola hidup Muslim yang jauh lebih sehat bisa jadi yang menyebabkan angka kelahiran Muslim jauh lebih tinggi dibanding non Muslim.

Apapun, yang jelas faktor kedua ini menghasilkan sejenis euforia bagi muslim di belahan dunia lain. Memang orang-orang tidak akan terlalu memperhatikan jumlah imigran muslim ataupun angka fertilitas muslim, namun melalui tajuk-tajuk berita seperti yang saya sampaikan sebelumnya, lahir interpretasi semacam kisah inspirasi bagi pemuda muslim untuk bangga akan identitas keislamannya termasuk di Indonesia.

3.  Ketidakpuasan Atas Gaya Hidup yang Bebas

Gaya hidup bebas layaknya negara liberal yang masih diganderungi oleh kebanyakan anak muda nyatanya melahirkan banyak permasalahan. Hal ini yang membuat sebagian besar generasi muda cenderung frustasi dan mencari jalan keluar dengan gaya hidup yang berbeda. Di luar dugaan, justru gaya hidup Islam yang justru menjadi rujukan dan hasilnya cukup memuaskan. Ini yang kemudian membuat gelombang hijrah di berbagai kalangan dan akhirnya menjadi tren.

Faktor ini menjadi masif karena banyak juga yang terdampak efek buruk gaya hidup bebas ini dari kalangan public figure. Ketika public figure ini memutuskan hijrah, otomatis para penggemar mereka sebagiannya akan mencontoh. Tentu mayoritas penggemar mereka adalah juga dari kalangan muda mudi. Kemudian ini menjalar dari satu public figure ke public figure lain hingga jadilah sebua tren “Islamic lifestyle”. Yang terbaru, agenda Hijrah Fest yang diinisiasi oleh artis-artis yang tergabung dalam kajian Musawarah.

4. Politik Identitas Pilkada Jakarta



Suka tidak suka, harus kita akui pilkada Jakarta benar-benar menjadi momentum bukan hanya untuk Jakarta namun juga Indonesia karena besarnya atensi media massa pada pilkada Jakarta, menghidupkan kembali Islam sebagai pandangan hidup termasuk dalam berpolitik. Dan jika membicarakan faktor ini, maka aksi besar 212 adalah penanda momentumnya.

Sejak saat itu hingga kini di 2018, semangat keislaman dibangkitkan melalui berbagai sarana terutama media sosial. Dan yang terdampak sangat jelas dalam proses pencerdasan ini adalah 44,065 juta orang generasi Z yang terkategori usia produktif sebagaimana yang saya sampaikan pada bagian 1. Karena hampir setiap hari mereka menemukan konten di medsos baik dalam bentuk gambar, video, maupun berita dan mereka mendewasa bersama kondisi ini.

Klasifikasi Tren Islam Menurut Kacamat-aku

Seperti yang saya singgung di awal, tren postif Islam ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 bentuk tren yang saya sebut sebagai 3H, yaitu Hijab, Hijrah, dan Harakah. Tentu 3H ini tidak diartikan secara harfiah namun hanya sebagai ikon yang mewakili pembagian masing-masing segmentasi pasarnya.

1. Tren Hijab (Gaya Hidup)
Hijab saya ambil sebagai representasi dari perubahan gaya hidup. Di bagian ini adalah tren mereka yang terbuka dan menerima Islam walau hanya sebatas lifestyle. Misalnya tren mengubah penampilan atau busana menjadi lebih Islami, menigkatnya tren musik yang membawakan pesan Islam, atau meningkatnya minat wisata halal. Pada tahun 2018 tren ini cukup meningkat pesat, misalkan hadirnya grup musik Sabyan di belantika musik nasional yang berhasil mengembalikan shalawat dan gambus ke playlist musik anak-anak muda, atau tren berhijab di kalangan artis yang memang sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya.

2. Tren Hijrah (Cara Hidup)

Di bagian ini adalah tren yang bukan hanya sebatas mengubah gaya hidup, namun sudah ke tahapan mengubah cara hidup. Misalnya tren mengubah pergaulan menjadi bersama orang-orang shalih, tren membentuk komunitas belajar Islam, atau tren meramaikan kajian Islam. Termasuk dalam bagian ini adalah tren para Ustadz menjadi idola kaum muda seperti Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, dan lain-lain.

3. Tren Harakah (Pandangan Hidup)
Kalau membaca bagian ini, beberapa teman-teman yang aktivis dakwah pasti senyum-senyum kecil. Udah, dilepas aja ketawanya :D
Yang menjadi begitu jelas di 2018 adalah tren menjadikan Islam sebagai padangan hidup yang kemudian mengubah cara berfikirnya. Hal ini berbuah Islam sebagai dasar gerakan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, atau sosial. Sejatinya ikhtiar melalui gerakan ini sudah lama ada, namun kesadaran publik yang terbentuk secara masif benar-benar terasa relatif di dua tahun terakhir. Hal ini juga tak lepas dari faktor ke-4 yang saya paparkan sebelumnya.

Pembagian tren Islam ke dalam 3H ini sangat ingin saya share kepada teman-teman agar kemudian komunitas ataupun lembaga dakwah yang hari ini ada dan tengah berkarya dapat membagi ranah kerja dan selalu berinovasi guna memproduksi tren-tren yang dibutuhkan masing-masing bagiannya. Sehingga gelombang perubahan  yang ada terus meluas guna kehidupan yang makin Islami. Sudah saatnya dakwah menjadi trendsetter Indonesia, bahkan dunia

***

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗۤ  ۙ  اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ  ۖ  يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَآ ئِمٍ  ۗ  ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُ   ۗ  وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."
(QS. Al-Ma'idah : 54)



Bersambung…

Sabtu, 17 November 2018

Menuju Dakwah 4.0


Bagian 1 : Generasi Z, Dari Televisi Ke Medsos, Perubahan Pola Sebar Informasi


Setiap akhir pekan, saya biasanya pulang ke rumah di dusun. Jarak rumah ke lingkungan kampus memang hanya sekitar 1 jam, namun untuk efisiensi waktu dan biaya saya lebih memilih pulang sekali seminggu tiap akhir pekan dan menginap di sekretariat BEM (sebelum demisioner, jangan tanya sekarang dimana :D). Selain efisiensi, ketersediaan internet di dusun menjadi faktor lain. Sebagai bagian dari generasi Z, saya tak bisa memungkiri bahwa koneksi internet menjadi kebutuhan yang menunjang segala aktivitas keseharian.

Sepertinya ini cukup relevan dengan apa yang ditulis seorang psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul “Raising Children in Digital Era”. Dalam buku tersebut, Elizabeth mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di rentang tahun 1995 hingga 2014 dan biasa disebut dengan generasi Z atau dengan nama lain generasi NET. Tujuh karakteristik itu antara lain :
  1. Memiliki ambisi besar untuk sukses
  2. Berprilaku instan
  3. Cinta kebebasan
  4. Percaya diri
  5. Menyukai hal yang detail
  6. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan
  7. Digital dan teknologi informasi

Kembali soal kebiasaan mudik akhir pekan yang saya bahas di awal, momen pulang ini menjadi kesempatan saya untuk menonton televisi secara leluasa. Hal ini sebab jarangnya saya menonton televis di hari-hari biasa karena kesibukan. Maka perkembangan dunia pertelevisian yang saya ketahui akhir-akhir ini tidak jauh dari acara-acara televisi yang biasa mengisi jam tayang di malam minggu dan Minggu pagi.

Dari sekian banyak acara yang tayang, satu yang menarik perhatian saya 2 minggu terakhir adalah acara Bo bo ho di Trans TV. Acara yang mulai tayang sejak 20 Oktober 2018 dan tayang setiap hari Sabtu dan Minggu malam ini merupakan acara komedi yang memarketisasi jokes yang telah viral sebelumnya di lini media sosial. Para personil Bangijal TV yang terdiri dari Fiki, Bang Joker, dan Ijal yang membuat konten video lucu dan mengunggahnya di akun instagram pun didapuk sebagai para pemain di acara Bo bo ho.

Yang menarik perhatian saya bukanlah soal humor receh yang ditampilkan acara tersebut, namun acara tersebut seakan menambah rangkaian fakta bahwa hari ini terjadi perubahan yang signifikan dalam pola penyebaran informasi. Jika sebelumnya pola penyebaran informasi yang terjadi adalah televisi membuat konten lalu menyiarkannya, masyarakat sebagai audience menonton, kemudian informasi yang diterima menjadi bahan perbincangan baik dalam ruang tatap muka maupun di media sosial. Bisa kita katakan bahwa sebelum 2010 relatif pengendalian informasi masih terpusat pada industri pertelevisian.

Namun hari ini terdapat perubahan pada pola itu. Perlahan namun pasti, polanya berubah menjadi : viral di media sosial dan menarik banyak atensi, lalu televisi mengangkatnya menjadi topik berita maupun konten acara dan disiarkan, dan tersisalah masyarakat yang bukan pengguna media sosial menangkap informasi tersebut sebagai konsumen televisi. Perubahannya hari ini adalah peran sebagai sumber pertama informasi dan sumber rujukan yang mulai bergeser dari televisi ke media sosial. Meski kemudian memang belum terlalu signifikan, namun tren ini akan terus berkembang seiring bergesernya dominasi populasi Indonesia dari generasi milenial ke generasi NET.


Sebagai contoh lain, saya juga sempat menonton program berita di Metro TV dan salah satu segmennya adalah mengulas apa yang tengah menjadi trending topik di media sosial. Dari sana saya juga menyadari bahwa hampir semua program berita hari ini menjadikan bahasan viral di media sosial sebagai bagian dari bahan reportasenya. Entah ini pertanda baik atau justru menjadi indikator mulai tidak efektifnya jurnalistik kita, yang jelas kini media sosial telah mempengaruhi apa yang terjadi di meja redaksi.

Demikian juga kalau yang kita tinjau adalah public figure yang menjadi sorotan masyarakat. Faktanya dalam dua tahun terakhir jumlah personal yang mendapatkan banyak atensi dari public lebih banyak diproduksi oleh media sosial ketimbang yang diproduksi televisi. Entah itu selebritas, dai, politisi, hingga orang biasa sekalipun. Saya ambil contoh lagi dari dunia selebritas, pernah dalam satu kesempatan saya tak sengaja menonton acara Insert di Trans TV yang tengah membahas kontroversi Young Lex. Di waktu yang lain pernah juga ada acara sejenis di stasiun TV lain membahas kontroversi Awkarin. Pertanyaannya adalah, apakah popularitas mereka diproduksi oleh televisi? Kenyataanya bahwa pintu masuk mereka adalah Instagram dan Youtube. Yang lebih fenomaenal lagi adalah Ustadz Abdul Somad, populer melalaui tausiyahnya yang “ear catching” bagi telinga masyarakat Indonesia yang tersebar di Youtube, hari ini faktanya tingkat keterkenalannya di mata masyarakat jauh melebihi para dai yang lebih dahulu muncul melalui televisi.


Jika kita mau lebih cermat lagi, sebenarnya para pelaku industri televisi pun juga sudah menyadari realitas tentang berubahnya pola sebar informasi. Beberapa stasiun televisi telah mencoba strategi baru. Ambil contoh Indonesian Idol 2018, bagaimana mereka coba menarik atensi melalui postingan-postingan di Instagram yang menampilkan video audisi peserta. Yang dimainkan bukan hanya sekedar iklan, tapi juga gimmick di media sosial. Bagi yang pernah menonton Idol 2018, pasti yang terlintas di ingatan kalian adalah Marion Jola, Brisia Jodie, atau Ghea. Dan silakan flashback lagi ingatan kalian, pasti yang kalian ingat adalah video audisi mereka bertiga yang sejatinya memang disetting untuk viral. Strategi yang sama juga dilakukan oleh Idol Junior dengan Nashwa-nya, serta diadaptasi juga oleh ajang pencarian bakat lain di televisi. Paradoks, karena acara televisi justru mempromosikan diri melalui media sosial. Bukankah itu artinya stasiun televisi tidak lagi optimal menjadi media promosi?

Mengapa bisa terjadi pergeseran pola sebar informasi ini?


Kemajuan teknologi informasi yang makin pesat jelas menjadi faktor utama yang mempengaruhi karakteristik dan cara kerja manusia terutama mereka yang termasuk dalam generasi Z seperti yang saya cantumkan di awal. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembagunan Nasional, proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. Jika kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur maka generasi X dan generasi Y masih mendominasi jumlah penduduk Indonesia dengan masing-masing di angka 63,869 juta dan 61,832 juta. Namun jumlah generasi Z yang tekategori usia produktif berada di angka 44,065 juta dan generasi Z yang masih anak-anak berada di angka 46,756 juta. Artinya, dalam waktu yang tidak lama lagi dari sekarang penduduk Indonesia akan segera didominasi oleh generasi Z dengan usia produktif.

Bila kita asumsikan orang-orang yang bergantung pada televisi sebagai sumber informasinya adalah para generasi X dan sebagian besar generasi Y, serta mereka yang brgantung pada internet adalah generasi Z dan sebagian kecil generasi Y, maka sekarang televisi memang tetap menjadi sarana utama masyarakat mencari informasi. Namun bisa dipastikan dalam waktu dekat juga televisi punya tugas yang makin berat karena harus berhadapan dengan kompetitor yang sangat kompleks pemetaannya yakni penontonnya sendiri.

Ditambah dengan kondisi bahwa hari ini tren global tengah menerapkan revolusi industri 4.0 dimana salah satu konsepnya adalah Internet of Things (IoT). Hal ini jelas akan semakin mengkatalisasi perubahan dalam segala aspek termasuk perubahan sosial. Maka modernitas dalam hal teknologi informasi yang akan segera menemukan momentumnya ini harus segera dibaca oleh berbagai pihak yang hari ini tengah memperjuangkan nilai-nilai kebaikan agar pengendalian informasi tak jatuh ke tangan yang salah (lagi).

Bersambung…

Senin, 30 Juli 2018

Mendefinisi Ulang Mahasiswa Ideal


Mendefinisi Ulang Mahasiswa Ideal


Akhirnya kembali posting tulisan di blog ini, setelah hampir 7 bulan sejak tulisan pertama. Memang salah satu ilmu yang masih perlu saya perbaiki adalah konsitensi. Mohon doanya agar bisa lebih produktif ke depannya.

Memasuki akhir bulan Juli ini, beberapa kampus mulai disibukkan dengan agenda tahunannya yaitu penerimaan mahasiswa baru, tak terkecuali di Universitas Sriwijaya tempat saya berkuliah. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah, latar belakang, serta berbagai varian jalur masuk mulai berdatangan di wilayah sekitar kampus untuk mengurus berbagai hal mulai dari tempat tinggal hingga registrasi ulang.

Membahas soal mahasiswa baru atau yang biasa disingkat "maba" memang akan melahirkannya banyak topik menarik; seperti isu UKT, beasiswa, senioritas saat pengenalan kehidupan kampus, sampai bagaimana tips menyusun rencana studi. Namun yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah hal yang sangat mendasar dan bagi saya penting untuk saya share dengan teman-teman maba agar dapat menyusun strategi yang tepat dalam mengarungi kehidupan kampus.

Sebelum memasuki kehidupan kampus lebih jauh, saya ingin teman-teman maba bisa menyempatkan waktu untuk coba menanyakan beberapa hal yang sangat dasar ini pada diri anda masing-masing : apa yang menjadi hobi anda? Buku apa yang sering anda baca? Kegiatan seperti apa yang sebenarnya anda senangi? Bagaimana kondisi finansial anda saat ini? Pekerjaan apa yang sebenarnya yang cocok dengan anda? Serta pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang berhubungan dengan konsep diri.
Sumber gambar https://www.plukme.com/post/konsep-diriI1dEVxQ

Barangkali beberapa dari teman-teman maba bertanya untuk apa sebenarnya kita perlu memetakan konsep diri? Dan tentu, apa sih pentingnya kita mempunyai konsep diri bagi kehidupan kampus? Untuk menjawab hal tersebut, sebelumnya saya ingin mengajak teman-teman untuk mendefinisi ulang kembali dengan apa yang kita sebut sebagai mahasiswa ideal. Kira-kira, sebelum membaca tulisan ini, apa yang ada dalam benak anda tentang mahasiswa ideal? Mahasiswa ber-IPK di atas 3,6 kah? Mahasiswa yang cepat lulus kah?

Jika itu yang ada dalam benak anda, maka anda tidak salah. Itu memang salah satu kategori mahasiswa ideal. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa bukan itu saja bentuk dari mahasiswa ideal. Yang kerap kali keliru dalam pemahaman maba adalah kurangnya referensi berbagai tipe mahasiswa ideal sehingga tidak sedikit mahasiswa yang menjalani kehidupan kampusnya secara monoton dan tidak memaksimalkan potensi yang sebenarnya ada dalam dirinya. Hal ini karena setiap mahasiswa memiliki potensi yang berbeda-beda dan tentu saja akan memiliki konsep ideal yang berbeda, membutuhkan treatment yang berbeda, serta sarana aktualisasi diri yang berbeda tergantung konsep dirinya masing-masing.

Untuk lebih memudahkan teman-teman maba menangkap ide saya, silakan jawab contoh pertanyaan ini. Apakah seorang yang punya jiwa wirausaha harus masuk Fakultas Ekonomi? Bagaimana dengan mereka yang punya bakat entrepreneur tapi justru masuk Fakultas Ilmu Komputer? Apakah lantas itu mematikan potensinya? Tentu ada banyak dari teman-teman maba yang mengalami kasus seperti ini dan kemudian langsung berkesimpulan bahwa dirinya salah jurusan.

Padahal bumi yang kita singgahi ini amat sangat luas untuk menampung berbagai varian jenis manusia. Teman-teman yang punya jiwa wirausaha namun masuk Fakultas Ilmu Komputer adalah orang-orang yang punya potensi paling besar untuk mengambangkan dunia startup. Atau misalkan teman-teman yang memilki kelebihan dalam bidang IT yang justru masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, teman-teman bisa memanfaatkan kelebihan yang kalian punya serta memaksimalkan tools-tools yang kalian dapatkan di perkuliahan untuk mengembangkan beragam metode pembelajaran berbasis teknologi. Dengan konsep berfikir seperti ini maka teman-teman bisa tetap mengembagkan keahlian sembari menikmati pembelajaran di jurusan masing-masing karena menjadikan dua hal tadi sebagai kombinasi potensi yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan.

Maka dari itu, yang perlu teman-teman maba pahami bahwa ada beragam bentuk mahasiswa ideal dan silakan identifikasikan diri termasuk di tipe manakah kalian. Setidaknya menurut saya ada 3 tipe mahasiswa ideal yang saya klasifikasikan berdasarkan pengalaman di kampus, diantaranya :

1. Tipe Akademik

Tipe akademik merupakan mahasiswa yang memiliki konsen untuk mendalami berbagai hal yang sesuai dengan jurusan yang ia tempuh, memiliki rasa tanggung jawab keilmuan yang tinggi, serta biasanya mereka adalah orang yang cenderung “achievement oriented”. Jika teman-teman merupakan siswa yang sering mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI), olimpiade, atau berbagai lomba keilmiahan sejenis, maka besar potensi teman-teman untuk menjadi mahasiswa dengan akademik yang ideal.

Beberapa hal yang bisa menjadi standar mahasiswa tipe ini bisa dikategorikan ideal antara lain : memiliki IPK yang relatif tinggi, masa studi yang efisien, memperoleh beasiswa, serta aktif mengikuti berbagai lomba maupun forum keilmuan di tingkat universitas, nasional, bahkan hingga internasional. Cukup banyak contoh mahasiswa ideal tipe ini, namun saya ambil satu contoh yaitu Putri Adelia, Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Utama Fakultas Ekonomi 2017 yang juga Mawapres ketiga Unsri 2017. Saya contohkan beliau karena di angkatan saya yaitu angkatan 2014, Putri merupakan salah satu yang paling memenuhi standar di atas. Saya harap teman-teman yang memproyeksikan diri menjadi tipe akademik bisa menelusuri profil beliau di intenet.

2. Tipe Wirausaha

Tipe ini merupakan mahasiswa yang memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Mereka memiliki kemampuan yang baik dalam membaca peluang, mampu memanajemen waktu dengan baik, dan biasanya merupakan orang yang memiliki skill khusus dengan nilai jual yang tinggi. Skill tersebut tak mesti harus sesuai jurusan yang ditempuh, namun bisa saja skill yang tidak berkaitan dengan jurusannya.

Jika kalian semasa SMA telah berjualan seperti menjual pulsa, makanan ringan, ataupun aksesoris, atau di rumah kalian telah terbiasa dengan kegiatan jual beli karena orang tua berwirausaha; maka tipe mahasiswa wirausaha cocok untuk anda kembang sebagai konsep diri ideal anda.

Lain hal dengan tipe akademik, tipe wirausaha hanya memilki satu standar yang bisa membuat mahasiswa ini terkategori ideal. Standar itu adalah mereka yang sembari kuliah telah membuka usaha milik sendiri dan beroleh omset yang setidaknya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Contoh mahasiswa yang paling ideal untuk tipe ini adalah kak Ragil Pamungkas, mahasiswa Fakultas Pertanian Unsri angkatan 2012 yang saat ini telah memilki beberapa cabang usaha dengan omset hingga jutaan rupiah per hari.

3. Tipe Aktivis

Tipe aktivis ini merupakan mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi, baik internal maupun eksternal kampus. Ataupun juga mereka yang aktif dalam berbagai gerakan sosial, lingkungan, maupun pendidikan. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa kritis, senang bersosialisasi, memiliki empati yang tinggi terhadap sesama, serta cenderung anti-mainstream. Teman-teman yang semasa SMA menikmati rutinitas sebagai pengurus OSIS, Paskibra, LKK, dan organisasi atau kegiatan sejenis lainnya bisa meneruskan pengembangan dirinya dengan menggunakan konsep diri tipe ini.

Nah, barangkali tipe ini yang kerap masih jadi pro kontra bahkan di kalangan mahasiswa itu sendiri. Seringkali kita melihat para aktivis ini dianggap sebelah mata karena kerap dibenturkan dengan fakta bahwa rata-rata mereka memiliki masa studi yang lebih panjang dibanding yang lain. Padahal untuk menilai para aktivis ini kita harus menggunakan perspektif yang berbeda. Aktivis memiliki kosep idealnya tersendiri dengan beberapa kualifikasi seperti : memiliki riwayat karir organisasi kampus yang baik diiringi dengan karya dan kontribusi nyata yang berdampak besar bagi masyarakat atau setidaknya lingkungan kampusnya sendiri, memiliki jaringan dan relasi yang luas, serta mampu aktif baik di dalam maupun di luar kelasnya (memiliki nilai IPK yang relatif baik meski tidak harus besar). 

Ada begitu banyak juga contoh mahasiswa ideal tipe ini. Jika dalam skala Unsri saya barangkali akan mencontohkan salah satu rekan seperjuangan saya kala di BEM KM FT Unsri yaitu Agus Adi Putra, mahasiswa Teknik Mesin Unsri angkatan 2014. Beliau merupakan Kepala Dinas Kajian Strategi dan Advokasi BEM KM FT 2017, aktif juga sebagai relawan di lembaga Sinergi Sriwijaya, dan yang tak kalah penting adalah prestasi akademiknya yang juga memuaskan. Atau jika bicara skala nasional maka saya akan mencontohkan Gubernur DKI Jakarta saat ini yaitu Bapak Anies Baswedan yang semasa kuliah pernah menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa di eranya.


Tentu saja ketiga tipe ini merupakan versi saya, dan jika kalian tanyakan pada orang lain barangkali akan menemukan jawaban yang berbeda. Juga yang menjadi catatan adalah kalian bisa saja mengombinasikan dua atau keseluruhan tipe ini, tergantung kemampuan kalian mengonsep dan memanajemen diri kalian, meski saya belum menemukan role model yang tepat di kampus Unsri yang bisa dikategorikan ideal dalam 3 hal tersebut.

Lalu bagaimana teman-teman bisa menemukan konsep diri yang ideal bagi kalian? Saya juga memiliki 3 tips yang barangkali bisa membantu teman-teman dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri kalian.
  • Open Minded

Bersiaplah menjadi pribadi yang bisa mendengarkan berbagai saran dan masukan, biasakan diri untuk melihat suatu peristiwa atau fenomena secara menyeluruh, serta adil dan objektiflah dalam menilai. Sehingga teman-teman bisa memilah informasi yang didapat dari berbagai sumber dengan tepat dan bisa menjadikannya sebagai kerangka berfikir yang realistis. Dan pada akhirnya teman-teman bisa menempatkan posisi secara tepat.

Ingatlah, dunia akan terlihat indah jika kita mau membuka mata atas semua peristiwa yang telah terjadi, dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Jika kita memilih untuk menutup mata maka tidak akan kelihatan karena gelap :D

  • Perbanyak Referensi

Hal ini bisa dilakukan dengan meperbanyak bacaan, menonton berbagai video, ataupun rutin memperbaharui informasi melalui berbagai media. Sehingga teman-teman menjadi kaya akan gagasan dan mempermudah kalian untuk menghasilkan karya yang orisinil.

  • Bergabung ke dalam Organisasi atau Komunitas Terkait

Hal ini tak lepas dari kodrat kita sebagai makhluk sosial, sehingga kehidupan kita amat sangat dipengaruhi dengan kondisi lingkungan sekitar. Maka penting bagi teman-teman agar menentukan organisasi atau komunitas mana yang tepat untuk menjadi wadah bagi kalian dalam mengembangkan diri. Fungsi teman-teman bergabung dalam suatu organisasi agar kalian mendapat orang-orang yang bisa me-supervising perkembangan kalian, memberikan arahan yang tepat, mengingatkan jika kalian mulai out of the track, hingga memotivasi saat kalian berada di titik jenuh.

Barangkali itu sedikit yang bisa saya share. Poin intinya adalah bagaimana teman-teman maba bisa sesegera mungkin menemukan kosep ideal diri kalian masing-masing, sehingga akan menghasilkan anda yang ideal sebagai seorang MAHASISWA.


Rahmat Akurizki
Menteri PPSDM BEM KM Unsri Kabinet Bangga Sriwijaya

Sabtu, 06 Januari 2018

Propaganda LGBT : Film


Selamat datang di kacamat-aku, terimakasih sudah mau berkunjung. Yups, ini merupakan tulisan pertama yang saya post di blog ini, dan memang lumayan berat temanya. Tapi tenang, bahasannya tidak seberat tema ini biasanya dibahas, karena kita akan melihatnya dalam perspektif dunia hiburan. Saya harap blog ini tetap konsisten menulis dan bisa selamat minimal sampai postingan kedua. Haha…

Sebelumnya, kenapa saya tertarik membahas hal yang sebenarnya antara penting gak penting ini? Ini berawal pas minggu pertama Desember 2017 kemarin dimana saya sedang mempersiapkan bekal untuk menghadapi liburan semester (baca : download film). Sebagai kosumen lk21, ganool, indoxxi, dkk setidaknya dalam 3 tahun terakhir, saya mendapati bahwa semakin kesini kecenderungan untuk menemukan film-film bertema LGBT semakin mudah. Entah itu memang film baru ataupun film lama yang baru diunggah. Hal ini sedikt menarik perhatian saya untuk coba membuat tulisan seputar film yang mengangkat isu cinta sesama jenis kelamin ini.

Bak gayung bersambut, fenomena LGBT juga ramai dibahas di ruang-ruang media sosial satu bulan terakhir ini. Berawal dari pro kontra putusan MK terkait judicial review UU LGBT dan Zina yang kemudian melebar hingga pro kontra LGBT itu sendiri (Ok, memang aneh anak Teknik ngomongin Hukum). Dari sini saya rasa momentumnya pas untuk sama-sama berbagi pemikiran seputar film LGBT ini.

Kalau anda mencari review seputar film-film LGBT pada kolom search engine maka biasanya tulisan-tulisan yang muncul hanya membahas seputar hal-hal teknis filmnya saja, dan biasanya opini akan digiring pada anggapan bahwa isu LGBT merupakan bagian dari kebebasan dalam suatu karya seni hingga ujungnya dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Jarang yang kemudian memabahas sisi lain film-film LGBT apalagi memposisikan film-film LGBT sebagai suatu propaganda. Lho, memangnya film-film LGBT itu propaganda ya? Ok, kita bahas lebih rinci

Sejarah isu LGBT dalam perfilman

Menurut catatan Time, salah satu film pertama Hollywood yang mengankat gay sebagai peran utama dan mempengaruhi sudut pandang masyarakat adalah The Boys in the Band. Film itu dirilis pada 1970 dan menjadi generasi awal film yang mempengaruhi LGBT sebagai peran penting dan berdampak luas pada kelangsungan posisi LGBT selanjutnya.

Sebelumnya memang kelompok LGBT telah masuk ke dalam film namun hanya unuk peran remeh atau penjahat. Dan The Boys in the Band mematahkan stigma tersebut dengan menghadirkan kisah kehidupan pria gay di New York dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan LGBT yang digambarkan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.

Dalam decade selanjutnya, beragam film yang mengangkat kisah atau karakter LGBT pun bermunculan. Menurut data dari Box Office Mojo, sejak tahun 1980 hingga kini ada lebih dari 300 judul film yang mendapatkan keuntungan dari peran LGBT  di dalam ceritanya. The Birdcage (1996) disebut sebagai film tentang LGBT terlaris yang mendulang US$ 185 juta. Film tersebut mengisahkan kisah pria dengan status gay terbuka Armand Goldman (Robin Williams) dan kehidupan jenaka saat mengelola sebuah kelab.

Tak hanya Hollywood, karakter-karakter LGBT pu masuk ke industri perfilman di Negara-negara lain seperti di Eropa dan Asia. Masuknya karakter LGBT ini tentu dengan sebuah paradigma bahwa kemajuan industri film ditandai dengan hadirnya film yang dapat melawan norma yang biasanya berlaku di masyarakat.

Berdasarkan paparan 2017 Studio Responsibility Index yang dirilis oleh Gay and Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD) disebutkan bahwa di tahun 2016 setidaknya ada 23 judul film LGBT yang diproduksi rumah produksi film skala besar, meningkat  1 dibanding 2015 sebanyak 22 film. (ada pula lembaga ini ternyata di bumi… LOL)

Film LGBT di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia belum memilki catatan secara jelas tentang film bertema atau berkarakter LGBT. Namun sebenarnya sudah dari era dekade 80-an karakter LGBT muncul dalam film Indonesia. Seperti film Istana Kecantikan (1982) dimana karakter LGBT diwakili oleh Niko (Mathias Muchus) yang berupaya menghindar dari tuntutan menikah karena dia adalah seorang gay. Namun pada era ini LGBT ditampilkan selalu mengalami nasib malang.

Memasuki era 2000-an karakter LGBT kembali muncul dengan “frame” cerita yang berbeda meski kemudian baik secara jumlah filmnya maupun kemunculan karakter di film tidak sebanyak Hollywood ataupun Negara-negara Asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sebagai contoh  yaitu film Arisan (2003), Coklat Stroberi (2007), dan Lovely Man (2011).

Catatan menarik seputar film LGBT

Yang menarik perhatian saya terkait film-film LGBT  adalah adanya beberapa hal yang barangkali bisa jadi catatan dalam menanggapi film tersebut.

Pertama, hampir sebagian besar film LGBT menayangkan adegan “syur”. Selain juga film LGBT memang rata-rata ber-rating 18+. Kalau boleh berhipotesa, menurut saya setidaknya ada 3 motif mengapa produser film-film ini selalu memasukkan unsur adegan “panas”.
  • ·        Motif kampanye kesamaan hak. Adanya upaya untuk mempengaruhi khalayak bahwa kaum Gay dan Lesbi juga bisa menikmati nafsu seksual layaknya manusia dengan orientasi seksual normal. Sehingga memunculkan opini bahwa LGBT sendiri adalah normal dan layak diterima sebagai bagian dari masyarakat seperti pada umumnya.
  • ·         Motif penularan prilaku LGBT. Tentu film seperti ini seperti layaknya sebuah edukasi bagi penonton untuk mengetahui bagaimana cara pasangan sesama jenis berhubungan.
  • ·         Motif penarik perhatian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konten pornografi dan pornoaksi merupakan konten yang termasuk paling banyak dibuka oleh pengguna internet. Saya pernah mencari sebuah film di situs cinemaindo, dan pada bagian most downloaded rata-rata merupakan film 18+ (yang merasa gak usah cengar-cengir)

Layaknya peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, para produser film ini seperti menjalankan tiga misi dalam satu kali aksi. Dan tentu ini yang paling rawan terhadap pengaruh film ini adalah remaja. Saat ini baik pengunjung bioskop maupun pengguna internet mayoritas adalah remaja. Dimana kita ketahui juga bahwa remaja merupakan usia perkembangan seksual yang apabila tak diedukasi dengan baik maka akan sangat mudah mencontoh apapun yang disaksikannya. Dengan kenyataan ini, film LGBT seakan layaknya sebuah jerat setan yang siap menjebak siapapun untuk masuk ke dalamnya.

Paling baru adalah kontroversi 4,5 menit adegan gay dalam film Beauty and the Beast yang sejatinya film ini ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Di Indonesia adegan itu tetap ditayangkan meski kemudian Lembaga Sensor Film menyatakan bahwa sempat dipotong namun ditolak oleh pihak Disney.

Kedua, film LGBT kerap menuai banyak prestasi dan pujian pada ajang penghargaan film. Misal yang terbaru adalah pemenang piala Oscar 2017 film “Moonligth”.  Hal ini tentu dapat kita lihat dalam berbagai sudut pandang. Di satu sisi, kita bisa memandang bahwa film-film LGBT memiliki kualitas yang baik secara teknis. Namun, dari sana pun kita kemudian dapat berasumsi bahwa produksi film LGBT merupakan produksi film yang dikerjakan dengan serius, dan tentu memilki targetan jumlah penontonn yang tinggi. Yang pada pangkalnya akan berhulu pada kebutuhan budget yang mahal.

Pun berdasarkan beberapa film LGBT yang pernah saya tonton (dengan catatan men-skip adegan panasnya yang gak penting), film-film ini memang memiliki kekuatan tersendiri. Biasanya mereka punya kualitas di sinematografi, scoring music, hingga alur cerita yang memiliki twist. Walau secara pribadi, semua komponen teknis tadi jadi tidak berarti karena LGBT sebagai  topik utama yang diangkat.

Eiittss… tapi tunggu dulu. Serentetan penghargaan tadi juga bisa dipandang dengan pertanyaan “Mungkinkah penghargaan itu juga merupakan bagian dari konspirasi film LGBT?”. Saya ambil contoh lagi piala Oscar 2017. Selain menobatkan film Moonlight sebagai film terbaik, ajang Oscar 2017 juga menganugerahkan aktor pembantu terbaik kepada Mahershela Ali atas aktingnya juga dalam film Moonlight.

 Yang menjadi pertanyaan besar adalah Ali merupakan seorang muslim yang notabenenya paling keras mengharamkan LGBT. Peran Ali disana pun juga memerankan peran gay. Lalu kemudian dengan mulus memenangkan penghargaan dan menjadi “Muslim pertama yang memenangkan Oscar”. Hal ini membuat saya mencoba menelusuri latar belakang Maheshela Ali dan menemukan sebuah fakta menarik. Ternyata Ali tidak benar-benar seorang Muslim melainkan seorang penganut Ahmadiyah (yang kita sama-sama ketahui menyimpang dari ajaran Islam).


Beberapa keganjilan ini membuat tak salah rasanya jika kemudian kita berspekulasi bahwa penghargaan Ali merupakan upaya “melegitimasi” secara sembarang oleh “suatu pihak” bahwa Islam menerima tindakan LGBT. Dan jika spekulasi ini benar, maka tentu semakin meyakinkan bahwa penghargaan-penghargaan tersebut “didesain” untuk mempengaruhi opini massa.

Ketiga, mayoritas film LGBT mengambil latar cerita di Negara atau kota dengan populasi yang tinggi. Hampir sulit rasanya menyebutkan film LGBT yang mengambil lokasi syting di tempat yang populasinya tak terlalu banyak. Ini masih hipotesa pribadi, barangkali karena keterbatasan informasi jadi ada kemungkinan saya yang tak tahu. Tapi saya belum tahu film LGBT yang berlatar di Vatikan, Finlandia, atau setidaknya Yunani. Spekulasi lain yang ingin saya hadirkan adalah mungkinkah ini merupakan upaya untuk mendekatkan prilaku LGBT dengan masyarakat di negara dengan jumlah penduduk yang tinggi?

Ok, saya termasuk orang yang meyakini kalau LGBT adalah salah satu senjata depopulasi manusia bersama senjata lain seperti perang, narkoba, atau wabah penyakit beserta vaksinnya. Bagi yang mengikuti perkembangan teori konspirasi pasti paham apa itu depopulasi manusia (meski saya juga hanya percaya sebagian dari seluruh teori konspirasi yang ada). Dan setidaknya dengan fakta bahwa target film-film LGBT merupakan Negara berpopulasi tinggi, yang artinya juga merupakan target depopulasi manusia, maka saya semakin yakin bahwa keberadaan prilaku LGBT memang ditargetkan untuk itu. Pun artinya film-film itu pun merupakan bagian dari konspirasi itu.

***
Inti dari tulisan kali ini adalah saya ingin mengajak pembaca aware dengan pintu-pintu masuk prilaku LGBT. Saya tergabung dalam grup facebook Thailand Movie Lovers Indonesia, dan sebagaimana kita tahu juga kalau banyak juga film-film LGBT produksi negeri gajah putih itu. Saya tergabung sejak 2015 dan saya masih ingat kala membahas film LGBT kolom komentar akan penuh dengan komentar bernada negatif terhadap film LGBT. Meski ada yang pro, namun jumlahnya tak seberapa.

Lalu sampailah 2017, dan saya melihat perbedaan yang cukup signifikan di kolom komentar. Kali ini mayoritas komentar cukup toleran terhadap film LGBT. Ternyata cukup 2 tahun saja untuk mengubah opini publik dengan  teknik “pembiasaan keadaan”. Bayangkan jika Indoensia sendirilah yang membiasakan produksi tayangan berkonten LGBT secara vulgar di kemudian hari, bukan tak mungkin regulasi LGBT legal akan tembus di Indonesia.

Satu hal juga yang tak kalah penting adalah selain  mengawasi penularan prilaku LGBT, juga mencegah pembiaran opini “yang penting gak ganggu saya” berkembang di masyarakat.


RA