Selamat datang di kacamat-aku, terimakasih sudah mau
berkunjung. Yups, ini merupakan tulisan pertama yang saya post di blog ini, dan
memang lumayan berat temanya. Tapi tenang, bahasannya tidak seberat tema ini biasanya
dibahas, karena kita akan melihatnya dalam perspektif dunia hiburan. Saya harap
blog ini tetap konsisten menulis dan bisa selamat minimal sampai postingan
kedua. Haha…
Sebelumnya, kenapa saya tertarik membahas hal yang
sebenarnya antara penting gak penting ini? Ini berawal pas minggu pertama
Desember 2017 kemarin dimana saya sedang mempersiapkan bekal untuk menghadapi
liburan semester (baca : download film). Sebagai kosumen lk21, ganool, indoxxi,
dkk setidaknya dalam 3 tahun terakhir, saya mendapati bahwa semakin kesini
kecenderungan untuk menemukan film-film bertema LGBT semakin mudah. Entah itu
memang film baru ataupun film lama yang baru diunggah. Hal ini sedikt menarik
perhatian saya untuk coba membuat tulisan seputar film yang mengangkat isu
cinta sesama jenis kelamin ini.
Bak gayung bersambut, fenomena LGBT juga ramai dibahas di
ruang-ruang media sosial satu bulan terakhir ini. Berawal dari pro kontra
putusan MK terkait judicial review UU LGBT dan Zina yang kemudian melebar
hingga pro kontra LGBT itu sendiri (Ok, memang aneh anak Teknik ngomongin
Hukum). Dari sini saya rasa momentumnya pas untuk sama-sama berbagi pemikiran
seputar film LGBT ini.
Kalau anda mencari review seputar film-film LGBT pada kolom
search engine maka biasanya tulisan-tulisan yang muncul hanya membahas seputar hal-hal
teknis filmnya saja, dan biasanya opini akan digiring pada anggapan bahwa isu LGBT
merupakan bagian dari kebebasan dalam suatu karya seni hingga ujungnya dianggap
sebagai suatu hal yang biasa. Jarang yang kemudian memabahas sisi lain film-film
LGBT apalagi memposisikan film-film LGBT sebagai suatu propaganda. Lho,
memangnya film-film LGBT itu propaganda ya? Ok, kita bahas lebih rinci
Sejarah isu LGBT dalam perfilman
Menurut catatan Time, salah satu film pertama Hollywood yang
mengankat gay sebagai peran utama dan mempengaruhi sudut pandang masyarakat
adalah The Boys in the Band. Film itu
dirilis pada 1970 dan menjadi generasi awal film yang mempengaruhi LGBT sebagai
peran penting dan berdampak luas pada kelangsungan posisi LGBT selanjutnya.
Sebelumnya memang kelompok LGBT telah masuk ke dalam film
namun hanya unuk peran remeh atau penjahat. Dan The Boys in the Band mematahkan stigma tersebut dengan menghadirkan
kisah kehidupan pria gay di New York dengan segala hal yang berkaitan dengan
kehidupan LGBT yang digambarkan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.
Dalam decade selanjutnya, beragam film yang mengangkat kisah
atau karakter LGBT pun bermunculan. Menurut data dari Box Office Mojo, sejak tahun 1980 hingga kini ada lebih dari 300
judul film yang mendapatkan keuntungan dari peran LGBT di dalam ceritanya. The Birdcage (1996) disebut sebagai film tentang LGBT terlaris yang
mendulang US$ 185 juta. Film tersebut mengisahkan kisah pria dengan status gay
terbuka Armand Goldman (Robin Williams) dan kehidupan jenaka saat mengelola
sebuah kelab.
Tak hanya Hollywood, karakter-karakter LGBT pu masuk ke industri
perfilman di Negara-negara lain seperti di Eropa dan Asia. Masuknya karakter
LGBT ini tentu dengan sebuah paradigma bahwa kemajuan industri film ditandai
dengan hadirnya film yang dapat melawan norma yang biasanya berlaku di masyarakat.
Berdasarkan paparan 2017
Studio Responsibility Index yang dirilis oleh Gay and Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD) disebutkan
bahwa di tahun 2016 setidaknya ada 23 judul film LGBT yang diproduksi rumah
produksi film skala besar, meningkat 1
dibanding 2015 sebanyak 22 film. (ada pula lembaga ini ternyata di bumi… LOL)
Film LGBT di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia belum memilki catatan
secara jelas tentang film bertema atau berkarakter LGBT. Namun sebenarnya sudah
dari era dekade 80-an karakter LGBT muncul dalam film Indonesia. Seperti film
Istana Kecantikan (1982) dimana karakter LGBT diwakili oleh Niko (Mathias
Muchus) yang berupaya menghindar dari tuntutan menikah karena dia adalah
seorang gay. Namun pada era ini LGBT ditampilkan selalu mengalami nasib malang.
Memasuki era 2000-an karakter LGBT kembali muncul dengan “frame”
cerita yang berbeda meski kemudian baik secara jumlah filmnya maupun kemunculan
karakter di film tidak sebanyak Hollywood ataupun Negara-negara Asia lain
seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sebagai contoh yaitu film Arisan (2003), Coklat Stroberi
(2007), dan Lovely Man (2011).
Catatan menarik seputar film LGBT
Yang menarik perhatian saya terkait film-film LGBT adalah adanya beberapa hal yang barangkali
bisa jadi catatan dalam menanggapi film tersebut.
Pertama, hampir sebagian besar film LGBT menayangkan adegan “syur”.
Selain juga film LGBT memang rata-rata ber-rating 18+. Kalau boleh berhipotesa,
menurut saya setidaknya ada 3 motif mengapa produser film-film ini selalu
memasukkan unsur adegan “panas”.
- · Motif kampanye kesamaan hak. Adanya upaya untuk mempengaruhi khalayak bahwa kaum Gay dan Lesbi juga bisa menikmati nafsu seksual layaknya manusia dengan orientasi seksual normal. Sehingga memunculkan opini bahwa LGBT sendiri adalah normal dan layak diterima sebagai bagian dari masyarakat seperti pada umumnya.
- · Motif penularan prilaku LGBT. Tentu film seperti ini seperti layaknya sebuah edukasi bagi penonton untuk mengetahui bagaimana cara pasangan sesama jenis berhubungan.
- · Motif penarik perhatian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konten pornografi dan pornoaksi merupakan konten yang termasuk paling banyak dibuka oleh pengguna internet. Saya pernah mencari sebuah film di situs cinemaindo, dan pada bagian most downloaded rata-rata merupakan film 18+ (yang merasa gak usah cengar-cengir)
Layaknya peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui, para produser film ini seperti menjalankan tiga misi dalam satu
kali aksi. Dan tentu ini yang paling rawan terhadap pengaruh film ini adalah
remaja. Saat ini baik pengunjung bioskop maupun pengguna internet mayoritas
adalah remaja. Dimana kita ketahui juga bahwa remaja merupakan usia
perkembangan seksual yang apabila tak diedukasi dengan baik maka akan sangat mudah
mencontoh apapun yang disaksikannya. Dengan kenyataan ini, film LGBT seakan
layaknya sebuah jerat setan yang siap menjebak siapapun untuk masuk ke
dalamnya.
Paling baru adalah kontroversi 4,5 menit adegan gay dalam
film Beauty and the Beast yang sejatinya film ini ditujukan untuk konsumsi
anak-anak. Di Indonesia adegan itu tetap ditayangkan meski kemudian Lembaga
Sensor Film menyatakan bahwa sempat dipotong namun ditolak oleh pihak Disney.
Kedua, film LGBT kerap menuai banyak prestasi dan pujian
pada ajang penghargaan film. Misal yang terbaru adalah pemenang piala Oscar
2017 film “Moonligth”. Hal ini tentu
dapat kita lihat dalam berbagai sudut pandang. Di satu sisi, kita bisa
memandang bahwa film-film LGBT memiliki kualitas yang baik secara teknis. Namun,
dari sana pun kita kemudian dapat berasumsi bahwa produksi film LGBT merupakan
produksi film yang dikerjakan dengan serius, dan tentu memilki targetan jumlah
penontonn yang tinggi. Yang pada pangkalnya akan berhulu pada kebutuhan budget
yang mahal.
Pun berdasarkan beberapa film LGBT yang pernah saya tonton
(dengan catatan men-skip adegan panasnya yang gak penting), film-film ini
memang memiliki kekuatan tersendiri. Biasanya mereka punya kualitas di
sinematografi, scoring music, hingga alur cerita yang memiliki twist. Walau secara
pribadi, semua komponen teknis tadi jadi tidak berarti karena LGBT sebagai topik utama yang diangkat.
Eiittss… tapi tunggu dulu. Serentetan penghargaan tadi juga
bisa dipandang dengan pertanyaan “Mungkinkah penghargaan itu juga merupakan
bagian dari konspirasi film LGBT?”. Saya ambil contoh lagi piala Oscar 2017. Selain
menobatkan film Moonlight sebagai film terbaik, ajang Oscar 2017 juga
menganugerahkan aktor pembantu terbaik kepada Mahershela Ali atas aktingnya
juga dalam film Moonlight.
Beberapa keganjilan ini membuat tak salah rasanya jika
kemudian kita berspekulasi bahwa penghargaan Ali merupakan upaya “melegitimasi”
secara sembarang oleh “suatu pihak” bahwa Islam menerima tindakan LGBT. Dan jika
spekulasi ini benar, maka tentu semakin meyakinkan bahwa
penghargaan-penghargaan tersebut “didesain” untuk mempengaruhi opini massa.
Ketiga, mayoritas film LGBT mengambil latar cerita di Negara
atau kota dengan populasi yang tinggi. Hampir sulit rasanya menyebutkan film
LGBT yang mengambil lokasi syting di tempat yang populasinya tak terlalu
banyak. Ini masih hipotesa pribadi, barangkali karena keterbatasan informasi
jadi ada kemungkinan saya yang tak tahu. Tapi saya belum tahu film LGBT yang
berlatar di Vatikan, Finlandia, atau setidaknya Yunani. Spekulasi lain yang
ingin saya hadirkan adalah mungkinkah ini merupakan upaya untuk mendekatkan
prilaku LGBT dengan masyarakat di negara dengan jumlah penduduk yang tinggi?
Ok, saya termasuk orang yang meyakini kalau LGBT adalah
salah satu senjata depopulasi manusia bersama senjata lain seperti perang,
narkoba, atau wabah penyakit beserta vaksinnya. Bagi yang mengikuti
perkembangan teori konspirasi pasti paham apa itu depopulasi manusia (meski
saya juga hanya percaya sebagian dari seluruh teori konspirasi yang ada). Dan setidaknya
dengan fakta bahwa target film-film LGBT merupakan Negara berpopulasi tinggi,
yang artinya juga merupakan target depopulasi manusia, maka saya semakin yakin
bahwa keberadaan prilaku LGBT memang ditargetkan untuk itu. Pun artinya
film-film itu pun merupakan bagian dari konspirasi itu.
***
Inti dari tulisan kali ini adalah saya ingin mengajak
pembaca aware dengan pintu-pintu masuk prilaku LGBT. Saya tergabung dalam grup
facebook Thailand Movie Lovers Indonesia, dan sebagaimana kita tahu juga kalau
banyak juga film-film LGBT produksi negeri gajah putih itu. Saya tergabung
sejak 2015 dan saya masih ingat kala membahas film LGBT kolom komentar akan
penuh dengan komentar bernada negatif terhadap film LGBT. Meski ada yang pro,
namun jumlahnya tak seberapa.
Lalu sampailah 2017, dan saya melihat perbedaan yang cukup
signifikan di kolom komentar. Kali ini mayoritas komentar cukup toleran
terhadap film LGBT. Ternyata cukup 2 tahun saja untuk mengubah opini publik dengan teknik “pembiasaan keadaan”. Bayangkan jika
Indoensia sendirilah yang membiasakan produksi tayangan berkonten LGBT secara
vulgar di kemudian hari, bukan tak mungkin regulasi LGBT legal akan tembus di
Indonesia.
Satu hal juga yang tak kalah penting adalah selain mengawasi penularan prilaku LGBT, juga
mencegah pembiaran opini “yang penting gak ganggu saya” berkembang di
masyarakat.
RA