Sabtu, 06 Januari 2018

Propaganda LGBT : Film


Selamat datang di kacamat-aku, terimakasih sudah mau berkunjung. Yups, ini merupakan tulisan pertama yang saya post di blog ini, dan memang lumayan berat temanya. Tapi tenang, bahasannya tidak seberat tema ini biasanya dibahas, karena kita akan melihatnya dalam perspektif dunia hiburan. Saya harap blog ini tetap konsisten menulis dan bisa selamat minimal sampai postingan kedua. Haha…

Sebelumnya, kenapa saya tertarik membahas hal yang sebenarnya antara penting gak penting ini? Ini berawal pas minggu pertama Desember 2017 kemarin dimana saya sedang mempersiapkan bekal untuk menghadapi liburan semester (baca : download film). Sebagai kosumen lk21, ganool, indoxxi, dkk setidaknya dalam 3 tahun terakhir, saya mendapati bahwa semakin kesini kecenderungan untuk menemukan film-film bertema LGBT semakin mudah. Entah itu memang film baru ataupun film lama yang baru diunggah. Hal ini sedikt menarik perhatian saya untuk coba membuat tulisan seputar film yang mengangkat isu cinta sesama jenis kelamin ini.

Bak gayung bersambut, fenomena LGBT juga ramai dibahas di ruang-ruang media sosial satu bulan terakhir ini. Berawal dari pro kontra putusan MK terkait judicial review UU LGBT dan Zina yang kemudian melebar hingga pro kontra LGBT itu sendiri (Ok, memang aneh anak Teknik ngomongin Hukum). Dari sini saya rasa momentumnya pas untuk sama-sama berbagi pemikiran seputar film LGBT ini.

Kalau anda mencari review seputar film-film LGBT pada kolom search engine maka biasanya tulisan-tulisan yang muncul hanya membahas seputar hal-hal teknis filmnya saja, dan biasanya opini akan digiring pada anggapan bahwa isu LGBT merupakan bagian dari kebebasan dalam suatu karya seni hingga ujungnya dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Jarang yang kemudian memabahas sisi lain film-film LGBT apalagi memposisikan film-film LGBT sebagai suatu propaganda. Lho, memangnya film-film LGBT itu propaganda ya? Ok, kita bahas lebih rinci

Sejarah isu LGBT dalam perfilman

Menurut catatan Time, salah satu film pertama Hollywood yang mengankat gay sebagai peran utama dan mempengaruhi sudut pandang masyarakat adalah The Boys in the Band. Film itu dirilis pada 1970 dan menjadi generasi awal film yang mempengaruhi LGBT sebagai peran penting dan berdampak luas pada kelangsungan posisi LGBT selanjutnya.

Sebelumnya memang kelompok LGBT telah masuk ke dalam film namun hanya unuk peran remeh atau penjahat. Dan The Boys in the Band mematahkan stigma tersebut dengan menghadirkan kisah kehidupan pria gay di New York dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan LGBT yang digambarkan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.

Dalam decade selanjutnya, beragam film yang mengangkat kisah atau karakter LGBT pun bermunculan. Menurut data dari Box Office Mojo, sejak tahun 1980 hingga kini ada lebih dari 300 judul film yang mendapatkan keuntungan dari peran LGBT  di dalam ceritanya. The Birdcage (1996) disebut sebagai film tentang LGBT terlaris yang mendulang US$ 185 juta. Film tersebut mengisahkan kisah pria dengan status gay terbuka Armand Goldman (Robin Williams) dan kehidupan jenaka saat mengelola sebuah kelab.

Tak hanya Hollywood, karakter-karakter LGBT pu masuk ke industri perfilman di Negara-negara lain seperti di Eropa dan Asia. Masuknya karakter LGBT ini tentu dengan sebuah paradigma bahwa kemajuan industri film ditandai dengan hadirnya film yang dapat melawan norma yang biasanya berlaku di masyarakat.

Berdasarkan paparan 2017 Studio Responsibility Index yang dirilis oleh Gay and Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD) disebutkan bahwa di tahun 2016 setidaknya ada 23 judul film LGBT yang diproduksi rumah produksi film skala besar, meningkat  1 dibanding 2015 sebanyak 22 film. (ada pula lembaga ini ternyata di bumi… LOL)

Film LGBT di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia belum memilki catatan secara jelas tentang film bertema atau berkarakter LGBT. Namun sebenarnya sudah dari era dekade 80-an karakter LGBT muncul dalam film Indonesia. Seperti film Istana Kecantikan (1982) dimana karakter LGBT diwakili oleh Niko (Mathias Muchus) yang berupaya menghindar dari tuntutan menikah karena dia adalah seorang gay. Namun pada era ini LGBT ditampilkan selalu mengalami nasib malang.

Memasuki era 2000-an karakter LGBT kembali muncul dengan “frame” cerita yang berbeda meski kemudian baik secara jumlah filmnya maupun kemunculan karakter di film tidak sebanyak Hollywood ataupun Negara-negara Asia lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sebagai contoh  yaitu film Arisan (2003), Coklat Stroberi (2007), dan Lovely Man (2011).

Catatan menarik seputar film LGBT

Yang menarik perhatian saya terkait film-film LGBT  adalah adanya beberapa hal yang barangkali bisa jadi catatan dalam menanggapi film tersebut.

Pertama, hampir sebagian besar film LGBT menayangkan adegan “syur”. Selain juga film LGBT memang rata-rata ber-rating 18+. Kalau boleh berhipotesa, menurut saya setidaknya ada 3 motif mengapa produser film-film ini selalu memasukkan unsur adegan “panas”.
  • ·        Motif kampanye kesamaan hak. Adanya upaya untuk mempengaruhi khalayak bahwa kaum Gay dan Lesbi juga bisa menikmati nafsu seksual layaknya manusia dengan orientasi seksual normal. Sehingga memunculkan opini bahwa LGBT sendiri adalah normal dan layak diterima sebagai bagian dari masyarakat seperti pada umumnya.
  • ·         Motif penularan prilaku LGBT. Tentu film seperti ini seperti layaknya sebuah edukasi bagi penonton untuk mengetahui bagaimana cara pasangan sesama jenis berhubungan.
  • ·         Motif penarik perhatian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konten pornografi dan pornoaksi merupakan konten yang termasuk paling banyak dibuka oleh pengguna internet. Saya pernah mencari sebuah film di situs cinemaindo, dan pada bagian most downloaded rata-rata merupakan film 18+ (yang merasa gak usah cengar-cengir)

Layaknya peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, para produser film ini seperti menjalankan tiga misi dalam satu kali aksi. Dan tentu ini yang paling rawan terhadap pengaruh film ini adalah remaja. Saat ini baik pengunjung bioskop maupun pengguna internet mayoritas adalah remaja. Dimana kita ketahui juga bahwa remaja merupakan usia perkembangan seksual yang apabila tak diedukasi dengan baik maka akan sangat mudah mencontoh apapun yang disaksikannya. Dengan kenyataan ini, film LGBT seakan layaknya sebuah jerat setan yang siap menjebak siapapun untuk masuk ke dalamnya.

Paling baru adalah kontroversi 4,5 menit adegan gay dalam film Beauty and the Beast yang sejatinya film ini ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Di Indonesia adegan itu tetap ditayangkan meski kemudian Lembaga Sensor Film menyatakan bahwa sempat dipotong namun ditolak oleh pihak Disney.

Kedua, film LGBT kerap menuai banyak prestasi dan pujian pada ajang penghargaan film. Misal yang terbaru adalah pemenang piala Oscar 2017 film “Moonligth”.  Hal ini tentu dapat kita lihat dalam berbagai sudut pandang. Di satu sisi, kita bisa memandang bahwa film-film LGBT memiliki kualitas yang baik secara teknis. Namun, dari sana pun kita kemudian dapat berasumsi bahwa produksi film LGBT merupakan produksi film yang dikerjakan dengan serius, dan tentu memilki targetan jumlah penontonn yang tinggi. Yang pada pangkalnya akan berhulu pada kebutuhan budget yang mahal.

Pun berdasarkan beberapa film LGBT yang pernah saya tonton (dengan catatan men-skip adegan panasnya yang gak penting), film-film ini memang memiliki kekuatan tersendiri. Biasanya mereka punya kualitas di sinematografi, scoring music, hingga alur cerita yang memiliki twist. Walau secara pribadi, semua komponen teknis tadi jadi tidak berarti karena LGBT sebagai  topik utama yang diangkat.

Eiittss… tapi tunggu dulu. Serentetan penghargaan tadi juga bisa dipandang dengan pertanyaan “Mungkinkah penghargaan itu juga merupakan bagian dari konspirasi film LGBT?”. Saya ambil contoh lagi piala Oscar 2017. Selain menobatkan film Moonlight sebagai film terbaik, ajang Oscar 2017 juga menganugerahkan aktor pembantu terbaik kepada Mahershela Ali atas aktingnya juga dalam film Moonlight.

 Yang menjadi pertanyaan besar adalah Ali merupakan seorang muslim yang notabenenya paling keras mengharamkan LGBT. Peran Ali disana pun juga memerankan peran gay. Lalu kemudian dengan mulus memenangkan penghargaan dan menjadi “Muslim pertama yang memenangkan Oscar”. Hal ini membuat saya mencoba menelusuri latar belakang Maheshela Ali dan menemukan sebuah fakta menarik. Ternyata Ali tidak benar-benar seorang Muslim melainkan seorang penganut Ahmadiyah (yang kita sama-sama ketahui menyimpang dari ajaran Islam).


Beberapa keganjilan ini membuat tak salah rasanya jika kemudian kita berspekulasi bahwa penghargaan Ali merupakan upaya “melegitimasi” secara sembarang oleh “suatu pihak” bahwa Islam menerima tindakan LGBT. Dan jika spekulasi ini benar, maka tentu semakin meyakinkan bahwa penghargaan-penghargaan tersebut “didesain” untuk mempengaruhi opini massa.

Ketiga, mayoritas film LGBT mengambil latar cerita di Negara atau kota dengan populasi yang tinggi. Hampir sulit rasanya menyebutkan film LGBT yang mengambil lokasi syting di tempat yang populasinya tak terlalu banyak. Ini masih hipotesa pribadi, barangkali karena keterbatasan informasi jadi ada kemungkinan saya yang tak tahu. Tapi saya belum tahu film LGBT yang berlatar di Vatikan, Finlandia, atau setidaknya Yunani. Spekulasi lain yang ingin saya hadirkan adalah mungkinkah ini merupakan upaya untuk mendekatkan prilaku LGBT dengan masyarakat di negara dengan jumlah penduduk yang tinggi?

Ok, saya termasuk orang yang meyakini kalau LGBT adalah salah satu senjata depopulasi manusia bersama senjata lain seperti perang, narkoba, atau wabah penyakit beserta vaksinnya. Bagi yang mengikuti perkembangan teori konspirasi pasti paham apa itu depopulasi manusia (meski saya juga hanya percaya sebagian dari seluruh teori konspirasi yang ada). Dan setidaknya dengan fakta bahwa target film-film LGBT merupakan Negara berpopulasi tinggi, yang artinya juga merupakan target depopulasi manusia, maka saya semakin yakin bahwa keberadaan prilaku LGBT memang ditargetkan untuk itu. Pun artinya film-film itu pun merupakan bagian dari konspirasi itu.

***
Inti dari tulisan kali ini adalah saya ingin mengajak pembaca aware dengan pintu-pintu masuk prilaku LGBT. Saya tergabung dalam grup facebook Thailand Movie Lovers Indonesia, dan sebagaimana kita tahu juga kalau banyak juga film-film LGBT produksi negeri gajah putih itu. Saya tergabung sejak 2015 dan saya masih ingat kala membahas film LGBT kolom komentar akan penuh dengan komentar bernada negatif terhadap film LGBT. Meski ada yang pro, namun jumlahnya tak seberapa.

Lalu sampailah 2017, dan saya melihat perbedaan yang cukup signifikan di kolom komentar. Kali ini mayoritas komentar cukup toleran terhadap film LGBT. Ternyata cukup 2 tahun saja untuk mengubah opini publik dengan  teknik “pembiasaan keadaan”. Bayangkan jika Indoensia sendirilah yang membiasakan produksi tayangan berkonten LGBT secara vulgar di kemudian hari, bukan tak mungkin regulasi LGBT legal akan tembus di Indonesia.

Satu hal juga yang tak kalah penting adalah selain  mengawasi penularan prilaku LGBT, juga mencegah pembiaran opini “yang penting gak ganggu saya” berkembang di masyarakat.


RA